Friday, September 30, 2011

September 30, 2011, playlist with host Alex McNeil

Today's show featured the music of Jackie DeShannon (all songs written or co-written by her) and a live telephone with her, in connection with her new CD, "When You Walk in the Room" (RockBeat Records):
01. Brenda Lee - So Deep (CD, 1962)
02. Brenda Lee - Alone with You (45, 1964)
03. Fleetwoods - The Great Imposter (CD, 1961)
04. Fleetwoods - Trouble (45, 1962)
05. Enoch Light & the Light Brigade - Put a Little Love in Your Heart (CD)
06. Irma Thomas - Breakaway (CD, 1964)
07. Bob B. Soxx & the Blue Jeans - I Shook the World (LP, 1963)
08. Cake - Baby That's Me (CD, 1967)
09. Ashes - Is There Anything I Can Do (CD, 1966)
10. Sandy Nelson - Put a Little Love in Your Heart (CD)
11. Raga & the Talas - My Group and Me (CD, 1966)
12. Shillings - Children and Flowers (45, 1966)
13. Joe & Eddie - Depend on Yourself (CD, 1965)
14. 31st of February - The Greener Side (CD, 1968)
15. Duane Eddy - Put a Little Love in Your Heart (CD)
16. Mike Sheridan's Lot - Don't Turn Your Back (CD, 1966)
17. Searchers - I Can't Help Forgiving You (CD, 1964)
18. Doug Gibbons - I've Got My Tears to Remind Me (CD, 1965)
19. Marianne Faithfull - Come and Stay with Me (CD, 1965)
20. Paramounts - Blue Ribbons (CD, 1965)
21. Byrds - Don't Doubt Yourself, Babe (CD, 1965)
22. Jackie DeShannon - When You Walk in the Room (CD, 2011)
23. Jackie DeShannon - Heart in Hand (CD, 2011)
24. Mahalia Jackson - Put a Little Love in Your Heart (LP, 1969)
25. Jackie DeShannon - Will You Stay in My Life (CD, 2011)
26. Twiggy - Vanilla Olay (LP, 1976)
27. Kim Carnes - Hit and Run (LP, 1981)
28. Jackie DeShannon - Where Does the Sun Go (CD, 1967)

Dagens favo

Bättre sent än aldrig...
Billy Paul- It´s Too Late

Sarah Palin cartoon

Thursday, September 29, 2011

Dagens favo

Åter igen dags att spendera tid på det där löpbandet.....
Baby Charles- Time Wasting

Moses and Manna cartoon

Other cartoons about Moses and other religious things every day here:
http://baloosdailyreligioncartoon.blogspot.com/

"Bukan Dia ... Tapi Sayaaa"

Athifah sangat jujur.
Ini buktinya ...
Pagi hari, jika waktunya ia sekolah, ato' (kakek, dalam bahasa Bugis: lato', disingkat menjadi ato') suka menggodanya, "Afyad ... cepat makan baru pergi sekolah."
Athifah biasanya sebal lalu protes, "BUKAN AFYAD ATO' ... SAYA YANG SEKOLAAAH."
Kejadian ini berlangsung berulang kali.
Mama sudah sering menjelaskan kepadanya bahwa ato' hanya menggodanya karena tidak mungkin Afyad sekolah, ia belum bisa mengikuti kegiatan belajar-mengajar sendiri.
Tetapi saat hari berganti dan ato' tetap menggodanya, hal yang sama berulang kembali: Athifah sebal dan protes, bahkan sambil menjerit.


Suatu hari saat bermain dengan Afyad.
Afyad menyodorkan gagang telepon mainan ke pipi Athifah.
Gerakannya cukup keras sehingga sekilas terlihat Athifah hampir mewek karena tamparan gagang telepon itu.
Mama langsung berkata kepada Athifah, "Waah adik ngajak Athifah main tuh .."
Athifah tertawa senang, ia menimpali Afyaad.
Oma ternyata juga memperhatikan perubahan raut wajah Athifah tadi, meski sekilas ia hampir mewek.
Oma berkata, "Hampir dia menangis tadi. Afyad yang jabe hampir menangis."
Athifah protes, "BUKAN AFYAD YANG JABE, OMA .... SAYAAA!"

Makassar, 29 September 2011
Anak yang jujur 'kan?

Nanti Saya Juga Melahirkan?

Athifah suka sekali bertanya tentang 'asal-usul' ...
Athifah : "Mama, nanti kalau Saya seperti Mama, Saya juga melahirkan anak?"
Mama  : "Iya, kalau Athifah sudah menikah"
Athifah : "Kenapa kalau orang menikah bisa melahirkan anak?"
Mama  : "Karena Allah kasih orang yang sudah menikah untuk bisa melahirkan."
Athifah : "Nanti, saya punya laki-laki seperti papa ... siapa namanya, Mama?"
Mama diam, berpikir hendak menjawab apa.
Athifah menjawab sendiri pertanyaannya, "Suami, ya Mama? Namanya suami!"
Mama  : "Iya"
Athifah : "Saya tahu."
Mama  : "Tahu apa?"
Athifah : "Tahu jawabannya yang Saya tanyakan tadi!"
Mama tertawa ...
Makassar, 29 September 2011
Mama legaaa sekali terlintas di benaknya, "Untung ia berhenti bertanya ..."

Wednesday, September 28, 2011

Alex McNeil interviews Jackie DeShannon Fri. 9/30!

On "Lost & Found" this Friday September 30th, host Alex McNeil will be interviewing legendary singer/songwriter Jackie DeShannon by telephone at approximately 1 PM EDT!



Jackie DeShannon & Alex!

Lady Godiva Cartoon

New king cartoon every day here:
http://baloosdailykingandqueencartoon.blogspot.com/

Silaturahmi yang Tersendat

“Niar ... Kamu ini ... kenapa Saya SMS, tidak Kamu balas? Dua kali lho Saya SMS, waktu tanggal 4 September dan lebaran!” seru seorang kerabat yang tinggal di Semarang saat saya meneleponnya berdasarkan permintaan ibu.
            “Oya Kak? SMS yang mana? Yang tanggal 4 tidak sampai,” jawab saya sambil menepuk jidat dan berusaha mengingat-ingat SMS yang dimaksudnya. Tanggal 4 September adalah hari ulangtahun pernikah orangtua saya. Kerabat yang satu ini memang sangat hafal ulangtahun kami semua, termasuk ulangtahun pernikahan ayah dan ibu saya dan ia sangat rajin mengirim SMS untuk mengucapkan selamat ulangtahun kepada kami.
            Saya yakin pada tanggal 4 September itu tak ada SMS darinya. Operator seluler terkadang ‘curang’, mengirim laporan bahwa SMS yang dikirim sampai tapi ternyata tidak diterima oleh yang bersangkutan. Tetapi SMS lebaran? Aduh, ada atau tidak ya? Tidak mungkin kerabat itu berbohong mengatakan mengirimkan SMS lebaran untuk kami melalui saya. Memang ada beberapa SMS lebaran yang sebenarnya ditujukan kepada orangtua saya, tetapi seingat saya sudah saya balas semuanya. Apa ada yang terlewat ya?

            Saat saya meneleponnya, sebelumnya saya menelepon saudarinya yang mukim di Jakarta yang baru saja ditimpa musibah: berpulangnya suami tercinta. Sebenarnya musibah itu sudah beberapa hari yang lalu dan kami mendapatkan kabar itu beberapa jam setelah kejadian. Tetapi saat itu ibu saya sedang sibuk. Beberapa kali saya hendak menelepon untuk beliau tak pernah jadi. Sialnya, saya lupa kalau seharusnya saya bisa kirim SMS saja dulu, menyampaikan belasungkawa. Kepada keluarga dekat yang ditimpa musibah seperti ini kan seharusnya diberi perhatian secepatnya, dengan secepat mungkin mengirim SMS atau menelepon mengucapkan belasungkawa. Kali ini saya tidak melakukannya. Aduh, kenapa saya ini?
            Saat kemudian ibu berkesempatan bicara di telepon dengannya, ia sedang berobat di Malaysia sehingga saat saya telepon tidak dijawabnya supaya tidak terkena roaming. Keesokan harinya, ia menelepon saya tetapi saya tidak mengangkatnya karena tidak mendengar dering HP di perjalanan. Saat itu saya sedang berboncengan dengan suami menuju rumah teman. Kendaraan yang lalu-lalang di sekitar motor yang melaju tentu saja membuat saya tak bisa mendengar dering HP.
            Kemudian SMS-nya masuk dan berisi permintaan supaya saya mengangkat telepon darinya, katanya ia menelepon-menelepon tetapi tak saya angkat. Segera SMS-nya saya jawab, dengan menceritakan kondisi saya saat itu.
            Peristiwa-peristiwa ini membuat saya merasa tidak enak. Saya tahu rasanya bagaimana jika memberi perhatian kepada seseorang dalam bentuk SMS atau telepon yang tidak digubris oleh orang itu. Rasanya tidak enak. Sekarang, saya berlaku sama dengan orang-orang itu.
            Setiap harinya, benak saya penuh dengan rentetan hal yang harus saya kerjakan di rumah, mengurus ketiga anak saya, dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Kesemuanya ini rasanya tidak pernah cukup dikerjakan dalam waktu dua puluh empat jam. Rentetan hal itu sering kali sangat menyita pikiran saya sehingga membuat saya abai dan lalai terhadap yang lainnya. Ditambah lagi dengan kegiatan baru saya: menulis. Di benak saya kini sering tiba-tiba bermunculan ide sehingga otak saya nyaris tak berhenti beraktivitas. Ini makin membuat saya abai dan lalai terhadap hal-hal yang sedang berada di luar fokus perhatian saya.
            Duh kerabatku sayang. Bukan saatnya berapologi. Saya tak bermaksud mengacuhkan tali kekerabatan di antara kita. Maafkan saya yang  tak membalas telepon dan SMS dari kalian. Saya sadar sepenuhnya tali kekerabatan yang sudah lama terjalin dalam darah kakek-nenek kita dan berasal dari moyang yang sama harus sebisa mungkin saya jaga. Mudah-mudahan besok-besok saya tak abai dan lalai lagi ....
Makassar, 28 September 2011

Dagens favo

Med tanke på det nu trevliga vädret så kör vi en specialare med sydlig anknytning.....
Pino D'Angio- Ma Quale Idea ´

Tuesday, September 27, 2011

Tuesday, Sept. 27, 2011 - Eli Polonsky

12:03. King Crimson - 21st Century Schizoid Man

The following ten songs featured guitarist Adrian Belew, who played in Boston on this night. He was scheduled to call in for a live telephone interview, but didn't.

12:10. David Bowie - D.J.
12:15. David Bowie - Station To Station - LIVE
12:25. Frank Zappa - Flakes
12:32. Frank Zappa - City Of Tiny Lites
12:37. King Crimson - Matte Kudasal - REQ
12:42. Talking Heads - Drugs - LIVE
12:46. King Crimson - Elephant Talk
12:52. Talking Heads - The Great Curve - LIVE
01:00. King Crimson - Indiscipline

01:05. Lothar & The Hand People - It Comes On Anyhow
01:10. The Grateful Dead - Bertha - LIVE
01:18. John Mayall - The Laws Must Change - LIVE

A set for Maria Muldaur performing in the area this week, and a live telephone interview with her.

01:24. Jim Kweskin Jug Band - Chevrolet - REQ
01:28. Maria Muldaur - Three Dollar Bill - REQ
01:36. Maria Muldaur - Inner City Blues (2008)
01:42. Maria Muldaur - Live telephone interview
01:56. Maria Muldaur - I'll Be Glad (2011)

Thanks for listening!
Eli Polonsky

Tertawalah di Saat yang Pantas, Teman !

Sumber gambar:
www.sacredwaste.com

Setelah membaca tulisan saya yang berjudul Ketika Maaf Harus Terucap, Maka Runtuhlah Dinding Superioritas Itu di blog saya, seorang kawan yang sedang berada di negari sakura membagi pengalaman serupa dengan itu kepada saya. Pengalaman saat dirinya didera rasa bersalah karena sempat memperturutkan sensitivitas yang mendadak timbul dalam hatinya.
Saat itu ada pembagian alat musik di klub musik sekolah anak sulungnya. Si sulung kebagian alat musik ‘tamborin’.
Beberapa waktu kemudian, terjadi percakapan dengan sesama warga Indonesia yang anak-anaknya sekolah di sekolah yang sama dengan si sulung. Kawan saya menceritakan kejadiannya :

Gak  tau awalnya, tiba2 ngomongin tentang klub musik di sekolahan. “Si fulan pegang alat musik A ya, kalo anakmu pegang alat musik apa?”  tanya seseorang. Tiba-tiba ada yang nyeletuk,  pegang krincingan  yang kayak gini,” sambil menirukan cara mainnya. Semuanya pada ketawa sampai-sampai  ada yg nyeletuk,”Jadi ingat pengamen di indonesia.” Biasanya saya cuek tapi kok perasaanku jadi gak enak ya.... Rasanya goblok banget memelihara rasa itu...
Pulang ke rumah, saya langsung ngomong sama si kakak, “Kenapa sih tidak mau ganti alat musik, tadi kamu diketawain sama orang, katanya kayak pengamen di Indonesia,” ujarku. Si kakak dengan muka marah menjawab, “Baka,” baca: bodoh, bahasa Jepang , “Yang bilang begitu.” dan dengan emosi dia mulai menjelaskan dan menyebutkan beberapa jenis alat musik yang sekelompok dengan tamborin itu.
Penjelasannya campur nihonggo yang saya tidak terlalu paham.  Sepertinya dia mau menjelaskan kalo dia bisa main tamborin maka dia juga bisa memainkan alat musik lain yang sekelompok dengan tamborin, termasuk drum.
Mengingat anaknya pernah menyatakan keinginannya untuk memainkan alat musik drum dan terompet,  kawan saya ini menawarkan kepadanya untuk membicarakan kepada guru seni musik kemungkinan penggantian alat musik dengan drum. Si sulung menolak, “Drum sudah ada yang pegang, Mama. Lagipula mainnya tidak gampang”
Karena sebal dengan mamanya yang ngotot, si sulung menyatakan kesediaannya untuk bicara dengan gurunya mengenai penggantian alat musik. Namun rasa keibuan kawan saya ini tidak mengizinkannya untuk merasa puas atas keputusan akhir sulungnya. Tadinya ia yang ngotot minta supaya anaknya mengusahakan mengganti alat musik yang dipegangnya, sekarang ia merasa menyesal memperturutkan rasa malunya setelah ditertawakan rekan-rekan sebangsanya. Allah menjewer hatinya untuk menyadari kesalahannya yang telah memaksa sulungnya mengikuti keinginannya. Maka runtuhlah dinding superioritas itu, ketika ia memutuskan harus meminta maaf kepada si sulung.
Chatting kami berlanjut. Saya katakan kepadanya bahwa rasanya saya juga ingin berteriak ‘BAKA’ kepada orang-orang yang telah menertawakan anaknya itu. Saya heran mengapa ada orang yang bertindak seperti itu? Menertawakan hal yang sama sekali tidak ada lucu-lucunya?
Kawan saya berkata, “Mungkin seperti itulah orang Indonesia. Orang Jepang tidak seperti itu. Pernah ada pertemuan antara para 'pejabat institusi pendidikan' dari Indonesia dengan para pejabat institusi pendidikan dari Jepang yang paling banyak dihadiri oleh orang-orang Indonesia. Saat ada salah ucap dalam pertemuan itu, orang-orang Indonesia pada tertawa, sementara orang-orang Jepang diam saja ... “
Saya jadi berpikir, apakah ini memang ‘warna’ orang Indonesia?
Saya ingat semasa masih kuliah di fakultas Teknik dulu. Mayoritas kawan-kawan kuliah saya adalah laki-laki. Saya sering mendengar mereka bercengkerama. Dari situlah saya menyimpulkan bahwa ternyata bukan hanya perempuan yang suka bergosip sembari tertawa ria, laki-laki pun begitu.
Ada dua kejadian yang mengemuka dalam benak saya.
Kejadian pertama, saya sedang bersama kawan-kawan lelaki saya di kantin. Entah dari mana awalnya, salah seorang kawan saya membicarakan seorang mahasiswi yang berada pada jarak sekitar lima meter dari meja kami, dengan nada mengejek sambil tertawa. Ia mengatai mahasiswi itu ‘jelek’. Saya yang sebal langsung ‘menembaknya’, “Memangnya Kamu merasa sempurna ya mengatai orang seperti itu?” Kontan ia terdiam. Skak mat.
Kejadian kedua, masih di kantin dengan kawan-kawan lelaki yang lain. Saya merasa tidak sreg ada salah seorang dari mereka membicarakan mahasiswi lain dengan cara yang tidak enak sembari tertawa. Kontan saya berujar, “Saya kira perempuan saja yang suka bergosip, ternyata laki-laki juga begitu!” Ia mengelak, “Alah, perempuan juga kan kalau ngumpul membicarakan laki-laki?” Saya geleng-geleng kepala. Saya bersyukur kawan-kawan mahasiswi saya tidak seperti itu. Meski kami minoritas yang selalu menjadi pusat perhatian para kumbang ini, kami tak membicarakan laki-laki seperti perkiraannya. Hanya satu hal yang membuat kami membicarakan laki-laki, yaitu perlakukan sewenang-wenang beberapa di antara mereka di laboratorium kala menjadi asisten kami yang hanya segelintir ini. Beberapa dari mereka bersikap laksana prajurit ‘sok gagah’ di dalam laboratorium, dan mereka berusaha mempertunjukkan ‘kegagahannya’ itu dengan cara-cara yang norak.
Kalau menggosipkan para makhluk mars ini sembari tertawa-tawa? Pfuih .. tak sudi lah yauw!
Makassar, 28 September 2011

Ia Memang Harus Dibangunkan

Sumber gambar:
http://jalurpitu.blogspot.com
           Pagi itu, saya menggendong Afyad ke luar rumah. Di sisi saya Athifah yang sudah rapi dengan jilbab birunya berjalan manis di sisi saya. Kami menuju jalan besar sekitar lima puluh meter dari rumah, mencari becak untuk ditumpangi.
Hanya ada satu becak yang ada di situ, dengan seseorang yang sedang terlelap di atasnya. Dialah sang pengemudi becak yang masih pulas di pukul setengah sembilan pagi itu.
Karena tidak tega membangunkan orang yang sedang pulas, saya melewati sang tukang becak, menunggu beberapa meter di depannya, berharap ada becak tak bermuatan melintas.
Sementara menunggu terlintas heran di benak saya, “Sepagi ini tukang becak itu sudah kecapaian? Tak mungkin, ia pasti melanjutkan tidur malamnya di situ. Sebenarnya ia sudah dalam waktu kerja tetapi menunggu penumpang cukup membosankan dan mengundang mulut untuk menguap, jadilah ia rebahan dan tertidur.”

Sekian menit menunggu, tak ada becak tak berpenumpang melintas. Saya menoleh kepada tukang becak itu. “Ah, harusnya ia Saya bangunkan saja. Ia berada di atas becaknya kan dalam rangka mencari nafkah? Ngapain Saya harus merasa tidak enak membangunkannya? Bukankan dengan membangunkannya kami sama-sama diuntungkan: Saya bisa sampai ke tujuan Saya, dan ia bisa mendapat rezeki?”
Saya melirik sang tukang becak. Tapi masih ragu-ragu membangunkannya. Tak lama tukang becak itu menggeliat. Kelopak matanya perlahan terbuka. Saya mendekatinya dan memberikan kode hendak menumpang becaknya. Ia turun dari becak, pindah ke tempat ‘kemudi’, meleluasakan saya dan anak-anak naik ke ‘tempat tidur’-nya.
Tidak perlu selalu segan membangunkan orang yang sedang tidur.
Dalam hal ini, sang tukang becak memang harus dibangunkan agar saya bisa menyampaikan rezeki Allah kepadanya dengan mengantarkan saya ke tempat yang saya tuju. Bukan begitu?
Makassar, 26 September 2011

Lawyer cartoon


My cartoons used around the net today:

Dagens favo

Ett ovanligt och oväntat val men väl så bra. Eller hur?
Sons Of Champlin- You

Sunday, September 25, 2011

Ketika Maaf Harus Terucap, Maka Runtuhlah Dinding Superioritas Itu

Sumber gambar: towerofpower.com.au
Salah satu hal yang saya ketahui sewaktu masih kecil adalah bahwa sebagai anak, saya tidak boleh marah kepada orangtua. Berdosa. Seingat saya, itu tidak mengenakkan bagi saya. Di usia kanak-kanak, kemarahan itu harus saya telan dan berlaku seperti tidak ada apa-apa. Saya dipaksa untuk menyabarkan diri padahal itu sangat sulit karena kemarahan yang harus saya telan itu meracuni aliran darah dan pikiran saya, menyimpan energi baru yang sewaktu-waktu bisa saja meledak jika bertemu trigger (pemicu) yang serupa.

Mungkin masih termakan doktrin lama, saya pun tak suka jika anak-anak marah kepada saya. Namun saya menyadari sepenuhnya bahwa mereka perlu menunjukkan rasa marah mereka agar mereka bisa menyadari adanya rasa itu dan kemudian belajar mengelolanya sehingga bisa mengendalikan diri, menjadi manusia yang tidak mampu dikuasai oleh rasa marah.
Namun saya yang masih harus banyak belajar ini menyadari, hal ini masih laksana dua sisi mata uang bagi saya. Di satu sisi saya harus bertindak sebagai guru ‘kecerdasan emosional’ bagi mereka yang berarti saya pun harus cerdas secara emosional dalam arti mampu mengendalikan diri, tidak dikuasai oleh emosi dalam menghadapi anak-anak. Sementara di sisi lain ada sisa-sisa doktrin lama yang mewujud dalam superioritas sebagai orangtua sebagaimana yang didengungkan senior saat masa perpoloncoan saat mahasiswa baru dulu:
Pasal 1. Senior (orangtua) tidak pernah bersalah
Pasal 2. Jika senior (orangtua) bersalah, kembali ke pasal satu.
Suatu ketika si sulung Affiq saya larang main komputer karena malam sebelumnya ia tidur di atas pukul sepuluh malam. Maka ngambeklah ia sepagian. Sungguh tak enak melihat mulutnya mengerucut seperti itu, memancing reaksi kesal saya, “Oh begitu ya? Mau memperlihatkan marah sama Mama? Kan Affiq yang salah. Mama sudah bilang, kalau tidurnya di atas pukul sepuluh malam, jangan harap Kamu bisa  main komputer esok harinya!”
Ia masih merengut. Kali ini disertai gumaman tak jelas. Menyebalkan sekali, karena ia melakukannya di dekat saya. Mana boleh ia marah padahal ia yang salah? Saya sudah berkali-kali mengatakan kepadanya, kalau ia bersalah maka ia tak berhak marah. Tetapi ia masih merengut seraya bergumam. Saya istighfar dalam hati, “Astaghfirullah, ya Allah mungkin Saya membuat kesalahan?”
Saya pun mendesaknya mengulangi dengan lebih jelas gumamannya. Setelah beberapa kali desakan jelaslah bagi saya. Malam sebelumnya ia minta dimasakkan lauk kesukaannya oleh saya. Karena sedang flow menulis, saya menyuruhnya menunggu hingga saya selesai mengetikkan ide yang berseliweran di benak saya. Akhirnya ia baru makan malam menjelang pukul sepuluh malam. Astaghfirullah, what a mother am I? Ibu macam apa saya ini?
Menyadari hal ini saya pun memeluknya, saya dobrak dinding superior itu dengan mengakui kesalahan saya, “Oooh .. Mama yang salah ya Nak? Mama yang terlambat masak jadi Affiq terlambat makan kemudian jadi terlambat tidur juga?”
Ia mengangguk pelan.
Saya membelai-belai kepalanya, mengecup dahinya, dan mengucapkan, “Maafkan Mama ya Nak?”
Ia menjawabnya dengan anggukan.
Selanjutnya semburat dan celoteh ceria memancar dari wajah dan bibirnya. 
Alhamdulillah, hal ini tak akan menyusahkan saya kelak di akhirat karena ia sudah memaafkan saya di dunia fana ini. Mudah-mudahan besok-besok Allah masih berkehendak menyentil saya sehingga tidak tunduk oleh egoisme berdalih superioritas sebagai orangtua.
Pembaca yang budiman, menundukkan kemarahan, mengakui kesalahan, dan meminta maaf kepada anak adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Tetapi jika saya menginginkan anak-anak saya mampu melakukan hal-hal ini maka sayalah orang yang pertama kali harus mereka saksikan mampu melakukannya. Dan tahukah Anda, hal ini adalah momentum yang sangat berharga dalam pembentukan jalinan hati – ikatan batin antara saya dan Affiq. Momentum yang hanya datang pada saat itu saja, bukan pada saat-saat lain. Terimakasih Allah, saya ada di dekatnya saat momentum itu datang. Terimakasih, Engkau gerakkan hati saya untuk bersikap seperti ini saat ia butuh menyaksikan saya berbesar hati mengakui kesalahan dan meminta maaf padanya.
Makassar, 26 September 2011

Ketika Emosi (Tak) Berbalas Emosi

Sumber gambar:
school-psychology.com.au
           Perbedaan generasi antara saya dan ibu memperlebar perbedaan pola pengasuhan yang kami anut secara signifikan. Affiq kerap tak cocok dengan ibu saya, mereka berdua memiliki watak sama-sama keras. Saat berumur 3 tahun, Affiq pernah mencoba naik tangga kayu yang disandarkan di tembok luar rumah kami. Ia hendak mengikuti ayah saya yang sedang berada di ujung atas. Ibu saya tergopoh-gopoh keluar rumah, berteriak-teriak dan memarahi ayah sekaligus Affiq. Mendapati reaksi seperti itu, Affiq terus memanjat. Ibu mencubit betisnya sambil terus marah-marah, menyuruhnya segera turun. Affiq akhirnya ‘menyerah’, ia turun sambil menangis keras. Walau cubitan  yang diperolehnya tidak begitu keras, rasa sakit yang nyata ia rasakan adalah dalam hatinya.  Sejak saat itu, Affiq kelihatan anti terhadap beliau.

Saat usianya 6 tahun, Affiq pernah membuat kekacauan di rumah. Suatu ketika tanpa sepengetahuan saya, ia bermain bedak bubuk di kamar ibu saya. Bedak itu dihambur-hamburkannya di lantai. Lalu ia menulis surat yang berisi tulisan “NENEK GILA” dan menyimpannya di situ. Betapa murkanya ibu saya. Ia memarahi Affiq dan saya di depan ibu mertua yang tengah berkunjung, “BERMAIN BEDAK SEPERTI ITU BUKAN KELAKUAN ANAK UMUR ENAM TAHUN. KALAU DIA MASIH BERUMUR DUA TAHUN MASIH PANTAS. SEKARANG TIDAK LAGI!” Kami hanya bisa diam mematung.
Tidak hanya sampai di situ, ibu juga mengatakan, “IA TIRU DARI MANA MODEL SEPERTI INI? TIDAK ADA DI ANTARA ANAK-ANAKKU YANG SEPERTI INI!” Pfuh, sepertinya kata-kata itu ditujukan kepada suami dan ibu mertua saya. Untungnya ibu mertua saya sangat sabar sehingga beliau diam saja mendengar semua itu dan rentetan bom amarah ibu setelahnya. Suami saya pun diam saja, sudah biasa baginya menyaksikan hal ini sehingga ia tahu ‘diam’ adalah sikap yang sangat tepat.
Setelah merasa cukup mendengarkan amarah ibu, saya menarik Affiq ke dalam kamar. Saya marahi ia dengan keras. Saya memilih tidak bersikap lembut dulu padanya karena sudah berulang kali saya beritahu ia supaya tidak menujukan kata “GILA” kepada siapapun, karena tidak ada orang yang senang dikatai seperti itu, setiap orang akan marah jika kata itu ditujukan kepadanya. Affiq diam mendengar kemarahan saya.
Lalu suara saya melunak. Sambil membelainya, saya tekankan kepadanya bahwa yang barusan ia sakiti itu adalah ibu saya, saya tidak menyukai ada orang yang menyakiti ibu saya, dan ia pun pasti tidak suka jika ada yang menyakiti saya. Saya terus menasihati dia dengan suara yang masih lunak. Kemudian, tanpa terasa air mata saya tumpah, saya katakan betapa saya menyayanginya dan kesedihan saya atas sikapnya. Melihat saya menangis, ia tertegun beberapa saat.
Kemudian saya bertanya, “Kenapa Affiq menuliskan itu?”
Ia diam mematung.
Saya mengulangi pertanyaan saya.
Ia menjawab, “Saya tidak suka sama nenek. Nenek suka marah-marah!”
Ada pilu di sudut hati saya. Saya peluk ia dan berbisik, “Affiq bisa bilang atau tulis kalimat ‘Nenek, saya tidak suka nenek karena nenek suka marah-marah’, lebih  baik seperti itu, bukannya menuliskan ‘Nenek Gila’. Jangan lagi lakukan itu ya Nak? Itu salah!”
Ia mengangguk.
Kemudian saya menghela nafas dan mengatakan, “Affiq harus minta maaf sama nenek!”
Ia menolak.
Saya bilang, “Affiq harus mau karena Affiq salah mengatai nenek ‘gila’!”.
Ia diam.
Saya membujuk, akan menemaninya meminta maaf.
Ia masih diam.
Saya lalu menyarankan, “Bagaimana kalau Affiq tulis saja permintaan maafnya? Nanti Mama temani Affiq menghadap nenek.”
Ia bersedia.
Akhirnya ia menuliskan kata-kata permintaan maaf itu. Saya menunggu saat yang tepat untuk memberikan surat itu kepada ibu saya. Sejujurnya, saya takut menghadapi ibu saya. Beliau bukan orang yang bisa memaklumi latar belakang perbuatan Affiq. Bagi beliau itu adalah hal yang sangat salah. Kata-kata yang dilontarkannya sebelumnya, menyiratkan beliau menyalahkan ‘sifat’ Affiq yang seperti itu mengikuti papanya. Diawali membaca do’a nabi Musa, saya menarik Affiq menghadap ibu saya, lalu menuntunnya mencium beliau, dan menyerahkan surat permintaan maaf itu. Jantung saya berdegup kencang. Di wajah ibu yang masih ada gurat kesal, perlahan berubah ketika membaca surat itu. Beliau menasihati Affiq panjang lebar denga suara lunak. Alhamdulillah.
Setelah kejadian itu, saya masih harus sport jantung dua kali lagi. Seperti kejadian terdahulu, ia kembali membuat ibu saya marah besar dan membuat saya harus memaksanya meminta maaf. Terakhir (ya Allah ... mudah-mudahan ini benar-benar yang terakhir kali), pada Ramadhan tahun lalu (saat itu Affiq berusia 9 tahun). Pada suatu siang ia menyetel TV ke saluran yang menayangkan acara yang disenanginya kemudian ia meninggalkan televisi dan masuk ke kamarnya sehingga ayah mengganti saluran TV untuk menonton siaran yang diinginkannya. Tiba-tiba Affiq muncul dan marah-marah di situ, ia membentak ayah dan ibu yang sedang duduk menonton.
Karena hal itu, ibu saya memarah-marahi saya di dapur. Ya Allah, jantung saya serasa mau jatuh ke lantai! Selesai ibu memarahi, saya panggil Affiq dan menariknya masuk ke dalam kamar. Saya lalu memarahinya dengan keras karena kesalahannya sangat jelas sejelas terang matahari siang itu, setelah itu baru saya menasihatinya dengan suara lunak tetapi tegas. “Mama malu sama Nenek dan Kakek. Mereka mungkin mengira Mama tak pernah mengajari Affiq padahal ‘kan Mama tidak pernah mengajari Affiq untuk berlaku seperti itu,” kata saya lagi. Saya mengharuskan ia meminta maaf setelah buka puasa. Saya berharap, setelah buka  puasa nanti hati  ibu saya sudah melunak. Kali ini ia harus melakukannya sendiri karena saya tak mau menemaninya. Kalau ia tak mau minta maaf, ia tak akan saya perbolehkan bermain game komputer.
Bukannya menunggu sore, Affiq malah menawar: langsung meminta maaf saat itu juga. Kali ini ia memperalat adiknya (ia sudah sering menggunakan adiknya untuk mendapatkan keinginannya), ia menyuruh Athifah mendatangi ibu saya untuk mengatakan kehendaknya.
Athifah melakukannya. Ia melapor, “Nenek, kakak Affiq mau minta maaf.”
Ibu saya menjawab, “Suruh Affiq sendiri yang datang ke sini!”
Sebagai kurir yang amanah, Athifah menyampaikannya kepada Affiq, “Kakak, minta maaf sendiri sama nenek.”
Sendirian, tanpa ditemani siapapun, Affiq mendatangi ibu saya. Ia mendekati beliau dan meminta maaf. Alhamdulillah, walaupun saat itu belum berbuka puasa, hati ibu saya sudah melunak, mungkin karena sudah menumpahkan kekesalannya kepada saya sebelumnya. Beliau memaafkan Affiq dan memberikan petuah-petuah kepadanya. Affiq tersenyum lega. Entah karena dimaafkan oleh neneknya atau karena terhindar dari hukuman.
Setelah itu, masih ada konflik-konflik kecil antara ibu saya dengan Affiq. Namun Affiq kelihatannya sekarang lebih memahami neneknya. Di mata ibu saya, selalu ada kesalahan yang terjadi di dalam rumah, entah itu dari saya, penghuni rumah lainnya, ataupun dari Affiq walau pada kenyataan yang sebenarnya tak ada kesalahan sama sekali.
Jika Affiq memang tak melakukan kesalahan apa-apa tetapi dimarahi oleh beliau, saya diam dulu menunggu ibu selesai marah-marah karena tak ada gunanya mengatakan satu kata pun – hanya akan memperkeruh keadaan. Setelah beliau berlalu baru saya dekati Affiq dan membelai-belai kepalanya. Saya membesarkan hatinya, mencoba membuatnya merasakan bahwa saya mempercayainya, dan memintanya untuk bersikap lebih sabar kepada neneknya.
Ada kalanya saya harus ‘membela’ Affiq seperti suatu ketika saat Affiq sedang menikmati kegiatan menyeterika pakaian-pakaian kepunyaannya dan adik-adiknya. Sudah tiga kali sebelumnya ia membantu saya menyeterika. Saya membiarkannya walaupun hasilnya tidak begitu rapi. Bagi saya kerapian bukanlah hal yang penting. Ia mau membantu saja, saya sudah sangat bersyukur dan berterimakasih padanya.
Saat ibu saya melihat aktivitas Affiq, tak ada angin tak ada hujan, beliau langsung ngomel-ngomel, menuduh Affiq hanya sedang bermain-main dengan seterika. Affiq diam saja. Wajahnya yang semula ceria menjadi cemberut. Saya membelanya, “Affiq lagi menyeterika, Bu. Ia tidak sedang bermain!” Ibu tetap mengomel, tidak peduli dengan penjelasan saya. Saya menghela nafas panjang. Untung omelan ibu tidak berlangsung lama, setelah itu beliau meninggalkan ruangan itu. Untung pula Affiq masih diam, ia tak mengatakan sepatah kata pun, masih tetap menyeterika dengan wajah cemberut.
Kini usia Affiq sudah sepuluh tahun. Kelihatannya ia lebih mengerti keadaan ibu saya. Namanya anak-anak, sesekali ia masih mengeluarkan lontaran tidak senang terhadap sikap beliau. Saya masih harus selalu ‘meluruskan’ sikapnya karena tak mungkin meminta ibu saya untuk melunak, kamilah yang harus mengikuti ‘alur’ beliau, dan itu bukan hal yang mudah bagi kami. Meskipun demikian Affiq tahu bahwa sesungguhnya neneknya sayang padanya karena sesekali ia diberi hadiah oleh beliau. Dan yang paling penting, ia tahu bahwa ia bisa mempercayai kami – bahwa kami bisa menilainya secara proporsional, tentang kapan ia melakukan kesalahan sehingga harus ditegur/dimarahi, dan kapan ia melakukan sesuatu yang baik sehingga ia layak dipuji/diberi hadiah.
Makassar, 23 September 2011

Selingkuh Oh Selingkuh ...

Karena mencari bahan untuk lomba bertema ‘Selingkuh’, saya pun mencari di Google kata kunci ‘alasan selingkuh’, siapa tahu saya bisa menyusun esai mengenai hal ini. Pilihan materinya adalah kisah nyata, esai, atau tips. Beberapa menit, bermunculanlah hasil pencarian dengan kata kunci ini.

            Yang mengejutkan adalah yang dirilis oleh Kaltim Today :
Data Pengadilan Agama Kota Bontang (Kaltim) tampaknya menjadi lampu kuning bagi para pasangan keluarga untuk lebih memperhatikan kualitas hubungannya, mengingat kasus perselingkuhan cukup tinggi di "Kota Khatulistiwa" itu.
"Hampir 40 persen penyebab perceraian pasangan suami-isteri akibat adanya keterlibatan dan campur tangan pihak ketiga (perselingkuhan), 20 persen akibat adanya wanita idaman lain (WIL) atau pria idaman lain (PIL)," kata Panitera Muda Hukum pada Pengadilan Agama Bontang, Hamran, di Bontang, belum lama ini.
Sedangkan penyebab perceraian lainnya yaitu 20 persen alasan ekonomi dan 20 persen akibat kurangnya rasa tanggung jawab yang rata-rata terjadi pada pasangan suami-isteri usia 30-40 tahun.
            Di sini ada dua poin yang berbeda tetapi menurut saya kelihatannya sama yaitu: "Hampir 40 persen penyebab perceraian pasangan suami-isteri akibat adanya keterlibatan dan campur tangan pihak ketiga (perselingkuhan), 20 persen akibat adanya wanita idaman lain (WIL) atau pria idaman lain (PIL)". Nah, WIL dan PIL yang menyebabkan perceraian, bukannya perselingkuhan juga? Jadi sebenarnya angka perceraian di Bontang karena perselingkuhan sebenarnya ada 60%? Bontang itu kota kecil lho. Logika sederhananya, kalau di kota kecil saja separah itu, bagaimana di kota besar? Ck .. ck .. ck.

            Kemudian perhatian saya beralih kepada hal-hal yang menyebabkan perselingkuhan, maka simaklah hal-hal berikut yang diungkap ginekolog dan konsultan seks Boyke Dian Nugraha pada seminar bertema "Love, Sex and Harmony" di Jakarta, pada bulan Maret 2009:
8 Alasan Kenapa Pasangan Selingkuh:
  • Pelarian emosional dari pasangannya.
  • Rasa ingin tahu tentang seperti apa seks dengan orang lain yang bukan pasangannya. Semuanya itu bermula dari rasa penasaran akan apa yang ada di balik itu (maksudnya di balik celana dalam pria). Bagaimana sih rasanya bercinta dengan pria kulit hitam karena suaminya berkulit putih," Boyke mencontohkan.
  • Kemarahan atau permusuhan yang terpendam dengan pasangannya.
  • Keinginan untuk merasakan lebih banyak seks atau jenis seks yang berbeda dari yang didapat dari pasangannya.
  • Dorongan ego.
  • Ketidakmampuan membentuk komitmen yang dalam.
  • Menghindar dari masalah perkawinan atau pribadi.
  • Untuk menghilangkan rasa sakit akibat kehilangan, sebagai contohnya, kematian orang yang dicintai atau anak yang pergi sekolah ke tempat lain.

    Menyimak kedelapan alasan ini, saya merasa yakin ‘warna paling terang’ dari kesemuanya adalah nomor 5 : dorongan ego. Bukankah nomor 1 hingga 8, kesemuanya adalah pengejawantahan dari egoisme[1]?
      Memperhatikan ini semua dan hasil-hasil pencarian lain, makin terasalah bagi saya betapa pernikahan itu tidak mudah tetapi sebenarnya tidak sulit juga karena komunikasi yang harmonis menjadi kunci dalam hal ini. Namun komunikasi yang harmonis nyatanya tidak dimiliki semua pasangan, sehingga hal ini menjadi sulit.
      Akhirnya, karena kesulitan menarik benang merah, saya memutuskan untuk menuliskan kisah nyata seseorang saja untuk diikutkan lomba itu. Bahan-bahan ini, saya tuliskan di blog ini untuk dijadikan bahan renungan, terutama untuk saya dan untuk siapa pun yang bersedia merenung bersama saya, mereka yang sudah menikah ataupun yang belum menikah.
      Kepada karib dan kerabat yang belum menikah, ada baiknya hal-hal seperti ini dimasukkan ke dalam ‘bank wawasan’ anda, guna memperkaya diri sebelum memasuki gerbang pernikahan. Wawasan itu penting, bukan hanya yang positif dari sisi pernikahan melainkan juga yang negatif karena perceraian itu ada dan perselingkuhan itu nyata di sekeliling kita.
Makassar, 26 September 2011



[1] Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Egoisme berarti: tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain.

Pendidikan Akhlak, Pengasuhan yang Penuh Pertimbangan

Nabi Muhammad, Pengajar “Pendidikan Akhlak” Terdahulu

Nabi Muhammad saw. (571 – 633) adalah orang yang lemah lembut, murah hati, mampu menguasai diri, suka memaafkan saat memegang kekuasaan, dan sabar saat ditekan. Beliau memiliki keberanian, patriotisme, dan kekuatan yang sulit diukur. Beliau sangat adil, sangat jujur perkataannya, dan sangat besar amanahnya. Orang yang mendebat dan bahkan musuh beliau mengakui hal ini. Sebelum masa kenabian, beliau dijuluki “Al – Amin” (terpercaya). Abu Jahal bahkan pernah berkata, “Kami tidak mendustakan dirimu, tetapi mendustakan apa yang Engkau bawa.” Ini menunjukkan betapa terpercayanya beliau sehingga walaupun orang kafir Quraisy mengingkari ajaran Islam yang beliau bawa, mereka tidak mengingkari akhlak terpuji beliau.

Beliau sangat tawadhu’, tidak menginginkan orang-orang berdiri saat menyambut kedatangannya seperti yang penyambutan terhadap para raja. Beliau biasa menjenguk orang sakit, duduk bersama orang miskin dan menghadiri jenazah mereka, memenuhi undangan para budak, duduk di tengah para sahabat, sama seperti keadaan mereka. Beliau mencuci pakaiannya, memerah air susu dombanya, dan membereskan urusannya sendiri. Beliau sangat memenuhi janji, menyambung tali persaudaraan, sangat bagus pergaulannya, tidak pernah berbuat (dan menganjurkan) kekejian, bukan termasuk orang yang suka mengumpat dan mengutuk, tidak membalas keburukan yang ditujukan kepadanya, tidak membiarkan seseorang berjalan di belakangnya, tidak mengungguli budaknya dan pembantunya dalam masalah makan dan pakaian, tidak pernah membentak pembantunya, dan tidak menegur perbuatan pembantunya yang tidak beres[1].
Sifat-sifat di atas yang sejatinya harus diteladani oleh umat Islam hanya sebagian kecil dari gambaran kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat beliau.

Pendidikan Akhlak Adalah Tanggung Jawab Orangtua

Sangat ditekankan di dalam Islam, adalah tanggung jawab orangtua dalam mendidik akhlak anaknya, sebagaimana dalam QS. Lukman (31) ayat 17, yang artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat, biasakanlah mengerjakan yang  baik, cegahlah perbuatan yang buruk, dan bersabarlah  (berhati teguhlah) menghadapi apa yang menimpa engkau, sesungguhnya (sikap) yang demikian itu termasuk perintah yang sungguh-sungguh.”
Ada hadits mencontohkan hal ini: Dari Abu Hafsh ‘Umar bin Abu Salamah, anak tiri Rasulullah saw., ia berkata: Sewaktu saya dan anak-anak dulu tinggal di bawah asuhan Rasulullah saw. dan pada saat itu tanganku meraih (makanan) dalam baki besar, Rasulullah saw. berkata kepadaku: “Wahai bocah, sebutlah nama Allah ta’ala, makanlah dengan tangan kananmu dan ambillah yang ada di depanmu.” Lalu selanjutnya begitulah caraku makan. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjelaskan bahwa ketika anak tirinya berbuat keliru, dengan spontan Rasulullah menegurnya dan sekaligus membetulkannya[2].
Di sinilah seringkali kesalahan besar orangtua bermuara. Anak-anak seringkali ‘dimaklumi’ jika berbuat kesalahan, misalnya saat seorang anak balita yang ceria secara tiba-tiba menampar teman bermainnya,  ditanggapi dengan tawa geli orang dewasa yang melihatnya termasuk orangtuanya sendiri karena merasa tengah menyaksikan atraksi lucu. Padahal meskipun dilakukan sembari bermain, tindakan itu salah dan harus segera diluruskan. Justru karena ia masih sangat kecil, adalah saat yang tepat mengajarkannya tentang mana yang benar dan mana yang salah.

Orangtua Ikut Andil dalam Membesarkan Sesosok “Monster”

Seorang anak yang melihat tawa orang dewasa menanggapi perbuatannya tentu saja akan berpikir tindakannya tersebut disenangi, dan adalah suatu kewajaran ia juga merasa senang karena telah menyenangkan orang lain. Maka masuk akal jika ia akan terus mengulangi perbuatan ‘menyenangkan’ tersebut. Padahal hal ini sama sekali tidak lagi menyenangkan jika ia tetap saja senang melakukannya lima atau sepuluh tahun mendatang. Seharusnya orangtua sesegera mungkin menyadari hal ini: semakin besar anak, kebiasaan yang tidak baik akan semakin sulit dilarang.
Ada kisah nyata, seorang anak yang tega mengusir orangtuanya dari rumahnya sendiri. Orangtuanya pun pasrah saja, keluar dari rumahnya. Sudah barang tentu bukan hal yang mudah bagi orangtua tersebut menanggulangi perbuatan anaknya yang telah  berubah menjadi ‘monster raksasa’. Ada andil orangtua dalam hal ini karena sejak kecil, apapun kemauan anaknya selalu dituruti. Orangtua tak pernah menolak kemauan sang anak, hanya karena alasan ‘kasih sayang’ dan karena ia anak semata wayang.
Ada kisah nyata, mereka yang terbiasa dituruti keinginannya tak berhenti berbuat semaunya kepada orangtua mereka. Kebiasaan ‘merengek’ sejak bayi yang menjadi senjata selalu saja digunakan untuk meluluhkan hati orangtua. Ada yang memaksa menikah padahal tidak punya tabungan sama sekali sehingga membuat orangtua dan saudara-saudara mereka banting tulang memenuhinya sementara yang bersangkutan sama sekali tidak merasa bersalah telah memberatkan orang-orang yang mengasihinya. Ada pula yang terbiasa membentak jika perasaannya sedang tak enak. Ia tak peduli kepada siapa ia membentak bahkan kepada ibu kandungnya sendiri. Ibunya hanya bisa istighfar dan menjauh ketika itu terjadi. Sikap diam diambilnya karena khawatir jika balik marah, anaknya akan menjadi durhaka.
Banyak contoh di sekeliling kita yang akan mengeringkan semua tinta di dunia ini menuliskannya. Seringkali para orangtua menganggap hal-hal ‘remeh’ bisa mereka tolerir karena kasih sayang mereka kepada anak. Padahal perlakuan ‘menolerir’ itu secara perlahan akan membentuk karakter ‘monster’ dalam diri anak-anak mereka. Karakter yang suatu saat di masa depan akan menjadi bom waktu sekaligus senjata makan tuan yang akan menyakiti dan merugikan orangtua. Sementara si anak sendiri kebal dengan perasaan bersalah karena ia menganggap tanggung jawab orangtuanyalah untuk memenuhi segala keinginannya atau untuk menerima segala kelakuannya yang menurutnya ‘wajar-wajar’ saja sampai kapan pun. Itu resiko di dunia. Bagaimana di akhirat nanti ketika semua hal yang ada di bawah tanggungan kita harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik? Pembelaan apa yang akan kita katakan kepada-Nya?

Pengasuhan yang Penuh Pertimbangan

Ada bayi berusia enam bulan yang memiliki kebiasaan menampar pipi orang yang menggendongnya. Orang-orang dewasa di sekelilingnya tertawa senang jika sang bayi melakukan hal itu. Suatu saat, seorang nanny (pengasuh) kondang mengoreksi hal ini. Ia menepis dengan halus tangan si bayi setiap kali hendak menampar wajahnya. Nanny itu tidak membenarkan perilaku tersebut – meski dilakukan oleh hanya seorang bayi karena kebiasaan yang berkelanjutan akan berdampak tidak baik di masa mendatang[3].
“Jadilah orangtua yang penuh pertimbangan” adalah sebuah ide yang digagas oleh seorang profesor psikologi dari Temple University, Amerika Serikat. Orangtua yang penuh pertimbangan mempraktekkan pola pengasuhan “penuh pertimbangan”. Pengasuhan “penuh pertimbangan” adalah pengasuhan yang memiliki tujuan tertentu, yaitu akibat dari tindakan orangtua kepada anak telah dipertimbangkan oleh orangtua, bukan merupakan suatu kebetulan [4].
Kebanyakan orangtua tidak menyadari, mereka menjalankan peran mereka sebagai orangtua dengan membiarkannya mengalir begitu saja, mengikuti bagaimana orangtua mereka ataupun orangtua-orangtua lain menjalankan peran. Tidak salah mencontoh hal-hal baik yang dimiliki orang lain dalam pengasuhan anak-anak mereka. Namun sebaiknya orangtua memiliki pola pengasuhan yang khas mengingat anak-anak mereka unik dan mengingat sekecil apapun perlakuan orangtua kepada anak, tetapi karena itu dilakukan secara intens dapat membentuk karakter anak di kemudian hari.
Bukan hendak mengatakan saya dan suami saya sempurna dalam menjalankan peran kami sebagai orangtua – sebagai manusia biasa kami memiliki banyak kekurangan, dalam hal ini saya hanya ingin berbagi cerita mengenai sulung saya Affiq yang sekarang berusia 10 tahun. Kami menyadari Affiq memiliki sifat bawaan yang keras. Ini ditunjukkan sejak ia masih sangat kecil, saat menginginkan sesuatu. Jika ia menginginkan A, tak bisa ditawar menjadi B. Suatu perjuangan berat jika mencoba mengganti pilihannya.
Saat ia masih berusia 3 tahun, kami bertiga ke toko buku. Di situ ia tertarik dengan mainan edukasi berbahan kayu yang sebenarnya sudah sangat mahir ia mainkan sehingga sama sekali tak ada gunanya ia miliki. Ia meminta mainan itu. Kami menawar dengan buku cerita anak-anak. Ia menolak. Dengan bujukan, ia akhirnya mau melihat dan memilih buku yang kami maksud.
Tak disangka saat kami berjalan menuju kasir, matanya tertumbuk lagi pada mainan kayu itu. Ia mendekati lemari tempat memajangnya lalu mulai merengek. Usaha kami membujuknya sia-sia. Ia tetap minta dibelikan. Bukan hanya merengek, ia berguling-guling di lantai dan menangis. Kalau hanya untuk menghapus rasa malu mungkin mainan itu sudah kami belikan. Tetapi kami tidak melakukannya. Kami menahan rasa malu yang memuncak pada tatapan mata orang-orang. Suami saya membopong Affiq keluar, mendudukkannya di atas motor. Saya menahan dirinya yang masih mengamuk, sembari kami naik ke atas motor. Kami berkendara di bawah terik matahari, ditingkahi Affiq yang tak mau dipakaikan topi karena masih tetap mempertahankan amukannya.
Karena masih ada keperluan lain, kami masih harus ke suatu tempat yang jaraknya sekitar 6 km dari toko buku. Sepanjang jalan menuju ke sana, Affiq berontak. Sampai di tujuan, ia tak mau masuk. Kali ini sambil menangis ia duduk di tengah jalan di depan rumah, untung jalan selebar gang itu tidak ramai. Segala bujuk-rayu kami dan orang-orang di situ ditampiknya. Setelah urusan selesai, kami pun berkendara sejauh  3 km menuju pulang, masih dengan Affiq yang meraung.
Sampai di rumah, ia masih saja menangis. Sedikit air untuk membasahi tenggorokan ditolaknya, termasuk sebotol susu kesukaannya padahal sejak tadi ia belum minum. Seperti sebelumnya, segala bujuk-rayu tak mempan. Akhirnya saya mengeluarkan ‘jurus’ pamungkas: membaca surah Yasin sebanyak 3 kali yang membuat Affiq diam, lalu tertidur selama 5 menit. Setelah itu ia bangun dengan segar, seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Dengan riang ia minta susunya dan memulai aktifitasnya dengan energi baru seolah habis di-charge padahal hampir 2 jam lamanya ia mengamuk.
Lama-kelamaan Affiq mengerti bahwa tidak semua keinginannya bisa dituruti. Ia yang dahulu senang mencoba menggeser ‘batas kekuasaan’ kami agar menjadi lebih sempit bagi kami dan lebih lebar baginya, kini sudah mengerti bahwa ada batas otoritas kami sebagai orangtua yang tak boleh ia langgar. Namanya anak-anak, sesekali ia masih mengetes kami. Sepertinya ia beranggapan tidak ada ruginya mencoba, barangkali kami mengalah. Tetapi jika kami konsisten, ia mampu menerima takdirnya.
Bukan hanya Affiq yang belajar. Kami sebagai orangtuanya pun belajar bahwa semuanya butuh proses. Reaksi kami sebagai orangtua sudah seharusnya selalu dipertimbangkan, begitu pun dalam menolerir perilakunya. Seremeh apapun itu, jika reaksi yang sama diperlihatkan kepada anak berulang kali, ia akan ‘belajar’ memperlakukan kami dengan batas-batas yang kami pasang, bukan dengan batas-batas yang ia pasang. Sudah tentu sebelumnya kami harus mempertimbangkan akibat dari batasan itu baginya ke depannya. Hal ini jauh lebih mudah diprediksi ending-nya ketimbang menyerah kepada batasan yang ditetapkannya. Batasan anak tentu tak bisa diprediksi oleh orangtua bagaimana ending-nya padahal itu bisa saja menjadi akhir mengerikan seperti contoh-contoh di atas karena sang anak telah berubah menjadi sesosok monster!
Makassar, 9 September 2011


[1] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah”, Pustaka Al-Kautsar, 2000.
[2] Drs. M. Thalib, “40 Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak”, Irsyad Baitus Salam, 1995.
[3] Deborah Carol, Stella Reid bersama Karen Moline, “Nanny 911”, Mizan, 2008.
[4] Laurence Steinberg, Ph.D. (profesor psikologi dari Temple University AS), “10 prinsip Pengasuhan yang Prima – Agar Anda Tidak Menjadi Orangtua yang Gagal”, Kaifa, 2005.