Tuesday, March 13, 2012

Susahnya Jualan Pempek

Membaca postingan mbak Monda Siregar yang berjudul BENCI CUKO PEMPEK, membuat saya teringat sebuah tayangan reportase investigasi oleh MNCTV akhir bulan Februari lalu. Tayangan itu sungguh membuat saya bergidik.

Saya mengenal pempek sewaktu tinggal di Rumbai – pinggiran kota Pekanbaru. Saat itu saya dan suami memiliki langganan pempek yang enak dekat pasar Bawah. Rasa cukonya (kuahnya) yang merupakan perpaduan asam, manis, dan pedas membuat saya jatuh hati pada jenis kuliner ini sehingga warung pempek itu pun menjadi alternatif tempat makan kami saat ke kota.

Kembali ke tayangan yang saya ceritakan di atas. Tayangan itu memuat tentang saat ini sudah banyak penjual pempek di kota asalnya – Palembang yang tidak jujur lagi dalam berjualan. Adonan pempeknya mereka campur dengan bahan-bahan kimia dalam takaran banyak agar bisa tahan lama.

Bukan hanya itu, ikan yang mereka pergunakan pun seringkali bukan lagi ikan yang segar. Melainkan ikan yang sudah busuk bahkan sudah disenangi belatung. Daging ikan ini pun saat diadon, dicampur dengan bahan-bahan kimia agar bau/rasa yang ditimbulkannya bisa hilang dan bisa tahan lama.

Bahan-bahan kimia ini mudah diperoleh, di pasar tradisional saja ada. Para penjual yang melakukannya bukan tak tahu bahwa apa yang mereka lakukan ini salah. Mereka tahu, namun lagi-lagi alasannya adalah ‘karena himipitan ekonomi’.

Sumber gambar:  http://tiraikasih.tripod.com

Hidup di zaman sekarang minta ampun sulitnya. Agar makanan yang dijual harganya bisa tetap murah,solusi yang mereka gunakan adalah mencampur bahan-bahan alaminya dengan bahan-bahan kimia supaya itu tadi, lebih awet. Kerugian mereka karena jualan yang tidak laku lebih bisa diatasi. Roda perekonomian mereka pun bisa tetap berjalan.

Apa semua penjual pempek di Palembang seperti ini? Tidak. Ada juga koq yang masih mempertahankan idealismenya. Seorang ibu yang jujur saat diwawancarai mengatakan, “Saya ingin jualan dalam waktu yang lama.”

Lalu bagaimana pula dengan warung-warung pempek di kota-kota lain? Mudah-mudahan saja tidak ikut-ikut dengan mereka yang tak jujur seperti dalam tayangan itu. Mudah-mudahan pula tayangan itu tidak lantas menjadi sumber inspirasi mereka untuk melakukan hal yang sama soalnya nformasi yang disampaikan oleh media massa bisa seolah menjadi belati bermata dua. Di satu sisi menjadi pengingat, di sisi lain bisa mendatangkan ilham untuk menjadikannya modus bagi orang-orang berhati busuk.

Tayangan itu juga memuat tips untuk membedakan mana pempek yang 100% berbahan alami dan mana yang menggunakan bahan-bahan kimia. Di antaranya adalah: tampilan pempek yang berbahan kimia sangat mengilat, tidak seperti yang berbahan alami.

Sayang saya tak bisa mengingat keseluruhan tips itu. Sepertinya ada juga yang menyangkut warna: kuning atau pucat.

Miris ya. Begitu banyak makanan yang tercemar bahan kimia saat ini, stasiun-stasiun TV sudah begitu sering mengulas reportasi investigasi mereka. Bagaimana pula pada 1 April nanti, kala harga bahan bakar naik lagi?

Ah, andai saya bisa memberi solusi ...

Makassar, 14 Maret 2012

Tulisan ini tadinya mau diikutkan pada Giveaway Pertama di Kisahku bersama Kakakin. Tetapi diriku 'salah tanggal'.  Saya kira 17 Maret deadline. Padahal 17 Maret itu pengumuman, deadlinennya 11 Maret ... hiks ... hiks ...


Bisa dibaca juga yang lainnya:

No comments:

Post a Comment