Sebelumnya (sekadar saran nih ...), silakan dibaca tulisan yang mendahului ini: Perjalanan Menuju Trans Studio
***
Selamat datang di Trans Studio |
“Di sini malam ya Ma?” tanya Athifah demi melihat ‘langit’ Trans Studio yang gelap.
Inilah jalan kecil di 'kota Trans Studio' di malam hari |
“Oooh langi-langitnya dikasih kain hitam,” jawab saya.
Memasuki area Trans Studio bagai memasuki sebuah kota yang gemerlap di waktu malam. Di kiri kanan ‘jalan kecil’ ada toko-toko berderet.
Di manakah tempat permainan itu?
Kami menyusuri jalan kecil yang terlihat. Tak lama terlihat arena Boom Boom Car. Kami mendekati petugasnya. Sang petugas melihat ke arah Athifah dan langsung menolak kami, “Belum bisa Bu, tingginya belum sampai.”
“Oooh, jadi di sebelah mana yang bisa?” tanya saya.
“Ibu ke arah sana,” kata sang petugas Boom Boom Car, menunjuk ke arah Kids Station.
Kami memasuki Kids Station. Wow ... ini pasti ‘surga mainan’ buat Athifah. Sekilas kelihatannya ia bisa memainkan semua permainan yang ada di sini. Athifah kelihatan senang. Ia mencoba berbagai permainan dengan antusias. Ternyata tak semua bisa ia mainkan. Boom-Boom Car Mini tetap tak bisa dimainkannya karena petugas di arena itu juga menolaknya. “Kakinya belum sampai di pedal, Bu,” kata sang petugas.
Inilah Kids Station ^_^ |
Singkat cerita, inilah arena-arena yang dimasuki Athifah:
- Karosel (sebanyak tiga kali)
- Boat House
- Rumah Pohon Bolang (sebanyak dua kali)
- Sepeda Ayun
- Safari Track
- Baloon House (sebanyak dua kali)
- Rimba Express
- Komidi Grand Esia Studio View
- Ditambah makan siang di HHB (yang ini bayar sendiri), menggunakan fasilitas toilet yang super bersih (saya dan Athifah, total sebanyak tiga kali), dan shalat dhuhur di mushalla
Saya heran, anak kecil ini punya tenaga ekstra dalam menjelajahi banyak area di Trans Studio. Dalam jangka waktu satu jam, saya sendiri sudah sedemikian lelah berada di sana padahal kebanyakan saya hanya menontonnya bersenang-senang. Saya sampai takut saja, kalau-kalau saya pingsan di tempat ini.
Karosel. Athifah sampai 3 kali naik ini! |
Menurut saya, tempat umum yang paling baik adalah yang menyediakan ruang menyusui ^_^ |
'Kendaraan lapangan' untuk Safari Track. Yang ini orang dewasa muat 4 orang ^_^ |
Hah ... saya penasaran dengan rumah pohon- nya si Bolang tapi tak boleh naik |
Boat House |
Bayangkan saja, kami bisa bolak-balik beratus-ratus meter demi memenuhi keinginan Athifah. Sewaktu di Rumah Pohon Bolang misalnya, tiba-tiba ia berujar, “Mau pipis, Ma.” Maka kami harus menempuh jarak beberapa ratus meter ke toilet. Habis pipis, ia minta kembali ke Rumah Pohon Bolang. Setelah itu kami kembali menempuh jarak beberapa ratus meter ke Kids Station, lalu menempuh jarak beberapa ratus meter lagi mencari permainan lagi. Pfuh, sungguh sangat melelahkan.
Pukul dua siang saya menelepon suami saya, “Pa, jemputnya nanti jam tiga saja. Athifah belum mau pulang ini. Saya shalat dhuhur di sini saja.”
Rencana awal saya pulang pukul dua belas (jika start dari rumah sebelum pukul sepuluh). Namun karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan dan sempat terjebak hujan, kami tiba menjelang pukul dua belas siang. Sementara dengan area seluas Trans Studio, tak mungkinlah Athifah puas bermain dalam waktu satu jam saja.
Baloon House |
Bisa tebak apa ini? Tidak bisa? Ini jahitan di rumah balon. Ck ck ck hebat yang bikin ini |
'Kendaraan' KGESV |
KGESV: Komidi Grand Esia StudioView #Halah bilang saja 'Komidi Putar' hehehe# |
Pemandangan di atas KGESV. Kain hitam tampak sangat nyata di sini |
Athifah senang sekali bermain Sepeda Ayun (heran juga ia diizinkan petugas di arena ini padahal kakinya belum sampai di pedal). Bagaimana dengan saya? Ampun deh, saya tak bisa menikmati permainan ini. Saya merasa pusing putar-putar dengan benda berputar ini. Jujur, saya tak bisa menikmati benda-benda besar yang rata-rata berputar ini. Kalau tak berputar secara horizontal, ya berputar secara vertikal. Tapi demi melihat wajah sumringah gadis mungil ini, saya rela-rela saja berpusing-pusing dengannya.
Oya, tentang Sepeda Ayun ini, Athifah malah dua kali lagi meminta kepada saya untuk naik sepeda ayun. Saya menolaknya mentah-mentah, “Mama tidak bisa, Nak. Mama pusing naik itu.” Untung ia mau menerima alasan saya.
Saat sedang menyuapinya makan ayam tak bertulang di resto mini HHB, saya bertanya kepadanya, “Athifah senang?”
Ia menjawab, “Iya Mama, Saya senang.”
“Alhamdulillah ya Allah ... terimakasih,” saya membatin.
Sebanyak dua kali saya ulangi pertanyaan itu karena rasa senang yang saya rasakan saat mendengar jawabannya. Rasanya ingin menananyakannya berkali-kali lagi (konyol ya?) kalau tak ingat bisa saja ia bosan dan marah ditanyai berulang kali. Bukankan saya sering protes padanya kalau ia menanyakan sesuatu kepada saya hingga berulang kali? Sungguh, tak ada kesenangan yang lebih besar di tempat ini selain mendengar pengakuan gadis kecil saya bahwa ia senang bermain di tempat ini.
Sayangnya Athifah tak mau diajak masuk ke arena ‘Magic’. Ia sudah seram saja melihat petugas penjaga gerbangnya yang memakai kostum hitam menutupi kepala hingga kaki – serupa jubah dan memakai topeng hitam pula. Athifah diam di tempat memelototinya, kemudian mundur dan berkata, “Saya tidak mau!”
Pukul setengah tiga, HP saya kolaps. Ia sama sekali tak bisa dipakai mengirim SMS, apalagi menelepon. Baterenya habis. Sialnya, saya tidak membawa charger-nya. Seandainya saya membawanya, saya bisa menumpang di colokan nganggur yang ternyata terlihat di beberapa tempat.
Sudah girang saja saya melihat pesawat telepon hijau milik Esia nangkring di depan sebuah kedai. Namun kegirangan saya pupus demi mendengarkan penjelasan petugas informasi di dekatnya, “Itu tak berfungsi Bu, hanya hiasan.”
Kemudian saya bertanya kepada petugas informasi, “Kalau telepon umum, ada tidak di sini?”
“Tidak ada, Bu,” jawabnya.
“Kalau wartel?” saya bertanya lagi (pertanyaan bodoh, mana ada wartel hidup di mal sekarang? Hehehe).
“Tidak ada, Bu,” jawabnya, konsisten.
Waduh.
Saya berjalan pasrah. Mudah-mudahan saja suami saya menjemput saya pas saat saya sedang menunggunya di depan sana. Untung tadi sudah minta jemput jam tiga. Athifah minta pulang karena baru merasa lelah. (Baru? ‘Sudah merasa lelah’ maksudnya barangkali. Iya, baru. Nona mungil ini baru merasa lelah sementara saya sudah merasa lelah sejak tadi J). Kami pun bergandengan tangan, berjalan ke arah luar Trans Studio.
“Di sini malam ya Ma” Athifah berkata.
“Langit-langitnya ditutupi kain hitam, Nak,” saya menyahut.
Makassar, 21 Desember 2011
Belum selesai lho, masih ada lanjutannya ... ^_^
Silakan dibaca juga:
No comments:
Post a Comment