Thursday, September 8, 2011

Pendidikan Karakter, dari Rengkuhan Pemerintah Hingga Keluarga

Degradasi Moral Memicu “Pendidikan Karakter” Didengungkan
Akhir-akhir ini marak didengungkan frasa “Pendidikan Karakter”. Pendidikan yang menekankan dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan pribadi ini dicetuskan oleh seorang pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pentingnya pendidikan karakter melecut pemerintah kita untuk mencanangkannya pada hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010[1] lalu.   Hampir bisa dipastikan, ini karena tanda-tanda degradasi moral yang terjadi di negara ini sungguh menyita perhatian dan membuat keresahan yang meluas di seantero negeri. Betapa tidak, sepuluh tanda degradasi moral yang melanda suatu negara dan merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa - menurut rumusan Thomas Lickona (Sutawi, 2010), sangat nyata di negeri ini. Kesepuluh tanda tersebut adalah:

  1. Meningkatnya kekerasan pada remaja.
  2. Penggunaan kata-kata yang memburuk.
  3. Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan.
  4. Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas.
  5. Kaburnya batasan moral baik-buruk.
  6. Menurunnya etos kerja.
  7. Rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.
  8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara.
  9. Membudayanya ketidakjujuran.
  10. Adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama[2].
Ada sembilan macam karakter yang diharapkan mampu ditumbuhkan dalam diri seorang anak untuk menangkal tanda-tanda degradasi moral. Sembilan karakter itu adalah:
  1. Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
  1. Kemandirian dan Tanggung Jawab
  1. Kejujuran atau Amanah, Diplomatis
  1. Hormat dan Santun
  1. Dermawan, Suka Tolong Menolong & Gotong Royong
  1. Percaya Diri dan Pekerja Cerdas
  1. Kepemimpinan dan Keadilan
  1. Baik dan Rendah Hati
  1. Karakter Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan[3].

Pendidikan Karakter dalam Rengkuhan Pemerintah
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama[4].
Oleh karenanya pendidikan berbasis karakter diberlakukan di semua jenjang pendidikan mulai tahun ajaran 2011/2012. ”Melalui pendidikan berbasis karakter ini, pemerintah berharap bisa menghasilkan peserta didik yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab,” kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D, saat apel kesiapan dan pencanangan pendidikan berbasis karakter di SMA Negeri 70 Jakarta, pada bulan Juli 2011 lalu.
Diharapkan semua jenjang pendidikan mampu mengeksplorasi potensi peserta didik sehingga bisa menjadi manusia Indonesia yang memiliki karakter kuat. Selain itu diingatkan agar guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik untuk mengembangkan budaya sekolah yang kondusif agar karakter bisa tumbuh. Caranya, dengan mengajarkan nilai-nilai keseharian, seperti kejujuran, kebersihan, kerapian, kepedulian, etos kerja keras, dan rasa tanggung jawab[5].
Sebelumnya, di kesempatan lain (pada acara Rembuk Nasional di Universitas Pendidikan Indonesia pada bulan Juni 2010), Fasli Jalal juga mengatakan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran. Selain itu mengenai sarana-prasaran, pendidikan karakter ini tidak memiliki sarana-prasarana yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan. Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan[6].

Menelusuri Kata “Karakter”
Kata “Karakter” ternyata tidak terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata yang berasal dari kata “Character” ini, di dalam kamus Inggris – Indonesia berarti: “watak, karakter, sifat”[7]. Kata “Watak” berarti: “Sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat”[8].
Sedangkan dalam Wikipedia, “Karakter” berarti: bisa digambarkan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri.
Di dalam Islam, padanan kata “Karakter” adalah kata “Akhlak”. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat makna kata “Akhlak” sebagai: “Budi pekerti; kelakuan”. Di dalam Islam, kerap pula disebutkan istilah “Pendidikan akhlak” yang basisnya tentu saja selain dari kitab suci umat Islam “Al-Qur’an” juga dari hadits nabi (sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) nabi Muhammad saw., yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam).
Jadi, dari penelusuran ini jelaslah  bahwa “Karakter” = “Akhlak”. Atau “Pendidikan Karakter” = “Pendidikan Akhlak”. Dan kata “Akhlak”/”Pendidikan Akhlak” sangat sering disebutkan di dalam ajaran Islam.
Betapa pentingnya kedudukan “Akhlak” di dalam Islam, digambarkan dalam beberapa hadits. Di antaranya: Dari Abu Darda’ ra., ia berkata: nabi saw. bersabda: “Tidak ada sesuatu pun yang melebihi beratnya budi pekerti yang baik dalam timbangan orang mukmin pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah membenci orang yang keji dan suka berkata kotor.” (HR. Tirmidzi)[9].

Nabi Muhammad, Pengajar “Pendidikan Karakter” Terdahulu
Nabi Muhammad saw. (571 – 633) sendiri sebagai pembawa ajaran Islam merupakan sosok yang memiliki akhlak yang sangat terpuji. Beliau adalah orang yang lemah lembut, murah hati, mampu menguasai diri, suka memaafkan saat memegang kekuasaan, dan sabar saat ditekan. Tentang kemurahhatian beliau, digambarkan oleh para sahabatnya bahwa beliau adalah orang yang memberikan apapun, tidak pernah menolak permintaan seseorang, dan tidak takut menjadi miskin.
Beliau memiliki keberanian, patriotisme, dan kekuatan yang sulit diukur. Beliau sangat berani, terus maju pantang mundur di medan perang. Bahkan para sahabat berlindung di belakang beliau kala musuh sudah sangat dekat.
Beliau adalah orang yang sangat adil, sangat mampu menahan diri, sangat jujur perkataannya, dan sangat besar amanahnya. Orang yang mendebat dan bahkan musuh beliau mengakui hal ini. Jauh sebelum masa kenabian, beliau dijuluki “Al – Amin” (orang yang terpercaya). Sebelum Islam dan pada masa jahiliyah beliau ditunjuk sebagai pengadil (hakim). Abu Jahal (orang kafir Quraisy) bahkan pernah berkata, “Kami tidak mendustakan dirimu, tetapi mendustakan apa yang Engkau bawa.” Ini menunjukkan betapa terpercayanya beliau sehingga walaupun orang kafir Quraisy mengingkari ajaran Islam yang beliau bawa, mereka tidak mengingkari akhlak terpuji beliau.
Nabi Muhammad saw. adalah orang yang sangat tawadhu’ (merendahkan diri) dan jauh dari sifat sombong. Beliau tidak menginginkan orang-orang berdiri saat menyambut kedatangannya seperti yang penyambutan terhadap para raja. Beliau biasa menjenguk orang sakit, duduk-duduk bersama orang miskin dan menghadiri jenazah mereka, memenuhi undangan para budak, duduk di tengah para sahabat, sama seperti keadaan mereka. Aisyah – istri beliau berkata, “Beliau biasa menambal terompahnya sendiri, menjahit bajunya, melaksanakan pekerjaan rumah dengan tangannya sendiri, seperti yang dilakukan salah seorang kalian di dalam rumahnya. Beliau mencuci pakaiannya, memerah air susu dombanya, dan membereskan urusannya sendiri.”
Beliau adalah orang yang sangat memenuhi janji, menyambung tali persaudaraan, sangat menyayangi dan bersifat lemah lembut terhadap orang lain, sangat bagus pergaulannya, sangat lurus akhlaknya, tidak pernah berbuat (dan menganjurkan) kekejian, bukan termasuk orang yang suka mengumpat dan mengutuk, tidak membalas keburukan dengan keburukan yang serupa (keburukan dimaafkannya dan ditanggapinya dengan lapang dada), tidak membiarkan seseorang berjalan di belakangnya, tidak mengungguli budaknya dan pembantunya dalam masalah makan dan pakaian, tidak pernah membentak pembantunya, dan tidak menegur perbuatan pembantunya yang tidak beres[10].
Sifat-sifat yang dituliskan di atas adalah hanya sebagian kecil dari gambaran kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat beliau. Hal-hal yang berupa akhlak beliau adalah juga merupakan ‘pendidikan akhlak’ (baca: ‘pendidikan karakter’) yang termaktub di dalam hadits yang sejatinya harus diteladani oleh umat Islam.
Salah satu hadits yang menggambarkan hal ini adalah: Dari Anas ra., ia berkata: “Saya belum pernah memegang sutera, baik tebal maupun tipis, yang lebih halus dari tangan Rasulullah saw., dan saya belum pernah mencium bau seharum bau Rasulullah saw. Saya pernah menjadi pelayan Rasulullah saw. selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah mengatakan “Hus” kepada saya, atau menegur saya dengan ucapan “Kenapa kamu berbuat seperti itu” terhadap apa yang saya kerjakan, dan beliau juga tidak pernah menegur dengan ucapan “kenapa kamu tidak berbuat demikian” terhadap apa yang tidak saya kerjakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)[11].

Pendidikan Akhlak yang Utama Adalah Tanggung Jawab Orangtua
Sangat ditekankan di dalam Islam, adalah tanggung jawab orangtua dalam mendidik akhlak anaknya. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Lukman (31) ayat 17, yang artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat, biasakanlah mengerjakan yang  baik, cegahlah perbuatan yang buruk, dan bersabarlah  (berhati teguhlah) menghadapi apa yang menimpa engkau, sesungguhnya (sikap) yang demikian itu termasuk perintah yang sungguh-sungguh.”
Salah satu hadits mencontohkan hal ini: Dari Abu Hafsh ‘Umar bin Abu Salamah, anak tiri Rasulullah saw., ia berkata: Sewaktu saya dan anak-anak dulu tinggal di bawah asuhan Rasulullah saw. dan pada saat itu tanganku meraih (makanan) dalam baki besar, Rasulullah saw. berkata kepadaku: “Wahai bocah, sebutlah nama Allah ta’ala, makanlah dengan tangan kananmu dan ambillah yang ada di depanmu.” Lalu selanjutnya begitulah caraku makan. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjelaskan bahwa ketika anak tirinya berbuat keliru, dengan spontan Rasulullah menegurnya dan sekaligus membetulkannya dengan akhlak Islam[12].
Di sinilah seringkali kesalahan besar orangtua bermuara. Anak-anak seringkali ‘dimaklumi’ jika berbuat kesalahan, misalnya saat seorang anak balita yang ceria secara tiba-tiba menampar teman bermainnya,  malah ditanggapi dengan tawa geli orang dewasa termasuk orangtuanya sendiri yang melihatnya karena merasa tengah menyaksikan atraksi lucu. Padahal meskipun dilakukan sembari bermain, tindakan balita tersebut salah dan harus segera diluruskan. Justru karena ia masih sangat kecil, seharusnya masih sangat mudah mengajarkannya tentang mana yang benar dan mana yang salah.

Orangtua Ikut Andil dalam Membesarkan Sesosok “Monster”
Seorang anak yang melihat tawa orang dewasa menanggapi perbuatannya tentu saja akan berpikir tindakannya tersebut disenangi, dan wajar bagi siapa pun untuk ikut merasa senang ketika telah menyenangkan orang lain, tidak terkecuali balita bahkan bayi sekali pun. Hal yang masuk akal jika ia akan terus mengulangi perbuatan ‘menyenangkan’ tersebut. Padahal hal ini sama sekali tidak lagi menyenangkan jika ia tetap saja senang melakukannya lima atau sepuluh tahun mendatang. Seharusnya orangtua sesegera mungkin menyadari hal ini: semakin besar anak, kebiasaan yang tidak baik akan semakin sulit dilarang.
Ada kisah nyata, seorang anak yang tega mengusir orangtuanya dari rumahnya sendiri. Orangtuanya pun pasrah saja, keluar dari rumahnya. Sudah barang tentu bukan hal yang mudah bagi orangtua tersebut menanggulangi perbuatan anaknya yang telah  berubah menjadi ‘monster raksasa’. Ada andil orangtua dalam hal ini karena sejak kecil, apapun kemauan anaknya selalu dituruti. Orangtua tak pernah menolak kemauan sang anak, hanya karena alasan ‘kasih sayang’ dan karena ia anak semata wayang.
Ada pula beberapa kisah nyata, mereka yang terbiasa dituruti keinginannya tak berhenti berbuat semaunya kepada orangtua mereka. Kebiasaan ‘merengek’ sejak bayi yang menjadi senjata selalu saja digunakan untuk meluluhkan hati orangtua. Ada yang memaksa menikah padahal tidak punya tabungan sama sekali sehingga membuat orangtua dan saudara-saudara mereka banting tulang memenuhinya sementara yang bersangkutan sendiri sama sekali tidak merasa bersalah telah memberatkan orang-orang yang mengasihinya. Ada pula yang terbiasa membentak jika perasaannya sedang tak enak. Ia tak peduli siapa pun dibentaknya bahkan ibu kandungnya yang tak pernah membentak dirinya. Ibunya hanya bisa istighfar dalam diam dan menjauh ketika ia memarahi semua orang dengan ganasnya. Sikap diam diambilnya karena khawatir jika ia balik marah, anaknya akan menjadi anak durhaka.
Banyak contoh serupa di sekeliling kita. Akan kering semua tinta di dunia ini menuliskannya. Seringkali para orangtua menganggap hal-hal ‘remeh’ bisa mereka tolerir karena kasih sayang mereka kepada anak-anak mereka seperti contoh-contoh di atas. Padahal perlakuan ‘menolerir’ itu secara perlahan akan membentuk karakter ‘monster’ dalam diri anak-anak mereka. Karakter yang suatu saat di masa depan akan menjadi bom waktu sekaligus senjata makan tuan yang akan menyakiti, merugikan bahkan meluluhlantakkan para orangtua. Sementara si anak sendiri kebal dengan perasaan bersalah karena ia menganggap tanggung jawab orangtuanyalah untuk memenuhi segala keinginannya atau untuk menerima segala kelakuannya yang menurutnya ‘wajar-wajar’ saja sampai kapan pun. Itu resiko di dunia. Bagaimana di akhirat nanti ketika semua hal yang ada di bawah tanggungan kita harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik? Pembelaan apa yang akan kita katakan kepada-Nya?
Makassar, 28 Agustus 2011



[1] Nuridin, dalam artikel “Pendidikan Karakter” di laman: http://www.pendidikankarakter.org/index.php?p=4_5
[2] Akhmad Sudrajat dalam artikel “10 Aspek Degradasi Moral dan 11 Prinsip Pendidikan Karakter” di laman:
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/07/31/degradasi-moral-dan-prinsip-pendidikan-karakter/

[3] Artikel “Kurikulum Pendidikan Karakter” pada laman http://www.pendidikankarakter.com/kurikulum-pendidikan-karakter/
[4] Prof . Suyanto Ph.D dalam artikel “Urgensi Pendidikan Karakter” yang diposkan oleh Triyono pada laman:
 http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/06/02/urgensi-pendidikan-karakter/
[5] KholiliHasib pada artikel “Pendidikan Karakter, Mau ke Mana?”  di laman: http://edukasi.kompas.com/read/2011/07/13/04580874/Pemerintah.Canangkan.Pendidikan.Karakter
[6] Yoggi Herdani, dalam artikel “Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi Kesuksesan Peradaban Bangsa” di laman:  http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1540:pendidikan-karakter-sebagai-pondasi-kesuksesan-peradaban-bangsa&catid=143:berita-harian
[7] John M. Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia – An English-Indonesian Dictionary”, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997 (cetakan XXIV)
[8] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka, 2003.
[9] Imam Nawawi, “Terjemah Riyadhus Shalihin”, Pustaka Amani, 1996.
[10] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah”, Pustaka Al-Kautsar, 2000.
[11] Imam Nawawi, “Terjemah Riyadhus Shalihin”, Pustaka Amani, 1996.
[12] Drs. M. Thalib, “40 Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak”, Irsyad Baitus Salam, 1995.

No comments:

Post a Comment