Laki-laki dan perempuan berbeda. Ya iyalah .. jenis kelaminnya berbeda. Kalau yang itu semua orang juga tahu he he he. Tapi ada situasi dan kondisi di mana perbedaan laki-laki dan perempuan nyata sekali, di saat itulah kita bisa salah menilai malah bisa menjadi penyebab retaknya hubungan suami-istri.
Saya yakin bukan hanya saya yang mengalami. Saya pernah menanyakan kepada beberapa orang dan juga mengamati beberapa orang. Saat baru menikah, dalam beberapa bulan saya dan orang-orang (baca: istri-istri) ini terkejut-kejut dengan kenyataan mengenai suaminya.
Misalnya saja ya, saya dulu sering kesal setengah mati sama suami saya karena sepulang kerja ia kembali sibuk dengan rutinitasnya sebagaimana yang ia jalani sebelum menikah: menekuni buku-buku, komputer, dan tontonan yang ia anggap menarik di televisi seolah-olah saya ini hanya penjaga rumahnya saja. Padahal seharian saya hanya ditemani tembok-tembok dingin dan acara televisi. Sesekali saja saya keluar rumah yang terletak di kawasan kota mandiri di tengah hutan Sumatera itu. Ingin sekali rasanya memecahkan komputer dan televisi itu, serta merobek-robek buku-bukunya. Tapi apa itu hal yang bijak? Absolutely not. Barang-barang itu kalau ditotal, harganya muahal bo, saya haqqul yakin pasti menyesal di belakang hari jika berani melakukannya.
Beberapa kali kejadian, kami bertandang ke suatu tempat, ia melenggang di depan saya. Begitu saya hendak melangkah masuk tiba-tiba saja pintu itu tertutup tepat di depan hidung saya. Oh God, itu dilakukan oleh suami saya. Ia tak membukakan saya pintu secara gentle seperti para lelaki di film-film itu!
Sebagai pengantin baru, saya ingin menjalani hari-hari saya ‘lebih baik’ dari itu. Mengapa ia tidak memperhatikan saya? Koq menikah rasanya seperti jadi pembantu? Melayani segala kebutuhan lelaki ini, mengabdi kepadanya sementara ia tak peduli kepada saya? Beberapa kali ia pulang kerja, saya sambut dengan wajah kecut. Saya lontarkan kalimat-kalimat ‘tidak langsung’ yang sama kecutnya dengan wajah saya dengan harapan ia bisa mengerti. Tapi apakah ia mengerti? Tidak. Ia sama sekali tidak mengerti. Maka tinggallah saya dengan perasaan dongkol selama berhari-hari.
Beruntung saya senang mengamati kawan-kawan saya di sana, para perantau juga, pasangan muda pula. Beberapa dari mereka sudah menikah, setahun, dua tahun atau tiga tahun lebih dulu daripada saya. Ternyata bukan hanya saya mengalami hal serupa ini. Kawan saya bahkan ada yang suaminya tetap dengan rutinitasnya pulang malam dari kantor dan sepulang kantor sibuk dengan game komputernya. Masih mending saya, jika saya menelepon suami saya pada pukul 16.30 atau pukul 17.00 (karena setahu saya jam pulang kantor adalah pukul 16.00), maka suami saya akan tiba di rumah 5 – 10 menit kemudian.
Kawan saya itu sempat stres juga apalagi saat itu ia tengah mengandung anak pertama mereka. Karena masih menyelesaikan kuliahnya, ia belum menetap di kota itu. Ia hanya datang saat liburan. Dan yang ia dapati adalah suami yang sibuk dengan dirinya sendiri, mirip dengan suami saya.
Bahkan ada kejadian, sepasang pengantin baru pergi berbelanja ke kota provinsi yang berjarak dua jam perjalanan dari kota tempat tinggal mereka. Mereka terpisah di tempat itu, mungkin berbagi ‘tugas’. Saat selesai berbelanja, sang suami pulang. Ia makan sambil nonton televisi. Kemudian ia masuk ke kamar mandi. Di situ ia melihat baju istrinya tergantung. Gubrak. Baru ia sadar, istrinya ketinggalan di tempat belanja! Buru-buru ia menempuh perjalanan selama dua jam untuk menjemput istrinya yang pasti sudah ‘mengering’. Jangan bertanya, ‘kenapa tidak menelepon’ kawan! Saat itu HP masih merupakan barang super mewah sehingga belum ‘mewabah’ seperti sekarang. Yang jelas, saat itu telekomunikasi dari kota ke tempat tinggal mereka di kota mandiri di tengah hutan itu masih teramat sulit.
Setelah mendengar kisah serupa lagi dari kawan yang lain, dan merenung, akhirnya saya sampai kepada kesimpulan bahwa ternyata ada perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan khusus di antara mereka. Saya mulai bisa melihat bahwa suami saya dan suami-suami lainnya tentu tidak mengerti apa yang saya dan istri-istri mereka inginkan.
Kaum pria jadi termotivas dan bersemangat kala mereka merasa dibutuhkan.
Kaum perempuan jadi termotivasi dan bersemangat kala mereka merasa dicintai.
Dan yang membuat perempuan merasa dicintai adalah ‘perhatian’. Perhatian adalah jenis cinta yang merupakan ‘kebutuhan primer’ perempuan.[i]
Kalau tidak menyengaja mengkomunikasikan keinginan saya, apalagi dengan hanya menunjukkan wajah kecut. Apakah suami saya mengerti? Jawabannya: tidak. Jadi, bagaimana supaya saya tidak makan hati dan suami saya tidak makin ‘egois’? Ya tentu saja dengan membicarakan hal ini baik-baik. Bukan dengan mengomel dan marah-marah yang tidak jelas. Jujur saja, perempuan suka ‘ke mana-mana’ kalau sudah mengomel. Kreatif sekali menghubung-hubungkan apa-apa yang sejatinya tak berelasi.
Sebaliknya bagi suami saya dan suami-suami lain, kalau tak ada pembahasaan dari istrinya tentang suatu masalah, bagaimana mereka juga bisa menangkap adanya masalah? Bagi mereka, tak ada pemberitahuan apa-apa dari istri mereka, berarti tak ada masalah. Berarti kita sedang tak membutuhkan mereka, dan mereka sah-sah saja melanjutkan hidup mereka. Iya kan ?
Sebaliknya bagi suami saya dan suami-suami lain, kalau tak ada pembahasaan dari istrinya tentang suatu masalah, bagaimana mereka juga bisa menangkap adanya masalah? Bagi mereka, tak ada pemberitahuan apa-apa dari istri mereka, berarti tak ada masalah. Berarti kita sedang tak membutuhkan mereka, dan mereka sah-sah saja melanjutkan hidup mereka. Iya kan ?
Nah dalam hal ini, saya harus membatasi masalah. Apa yang menjadi masalah, itu saja yang dibicarakan. Kalau merasa perlu marah, ya marahnya di situ saja, dan harus dibatasi marah hanya sekali. Jangan diulang-ulang. Karena banyak perempuan kalau sudah merasa ‘dizalimi’ oleh hal remeh sekali pun, bisa menjadikannya topik hangat dengan mengulang-ulanginya hingga beberapa kali, beberapa hari, beberapa bulan, bahkan hingga bertahun-tahun setelahnya saat mereka sudah bercucu padahal masalahnya sendiri sebenarnya sudah lama ‘ketok palu’.
Saya tak mau penjadi perempuan yang seperti ini. Saya sendiri suka sebal jika mendapati perempuan-perempuan seperti ini, masa saya mau menjadi bagian dari mereka? Iiiih.
***
Seperti biasanya, beberapa hari yang lalu saya mempublikasikan tulisan di blog saya ke facebook. Agar banyak yang tergerak untuk membacanya, sengaja saya tag beberapa nama, seperti adik saya, teman-teman saya, dan tentu saja suami saya.
Meski tanggapan ‘like’ bukan tujuannya. Senang juga jika ada yang dengan ikhlas mau melakukannya. Apalagi kalau ada yang memberikan komentar. Kawan-kawan sudah pada nge-like, ada juga yang sudah berkomentar. Bersyukur dan senang karena tulisan kita diperhatikan, dibaca, dan dihargai, berharap mudah-mudahan bermanfaat bagi yang membacanya, kira-kira seperti itu rasanya.
Ketika suami saya membuka FB-nya khusus di bagian kiriman tautan ke tulisan saya, saya perhatikan reaksinya. Ia kelihatan datar-datar saja membaca komentar seorang kawan, cenderung membiarkan tulisan itu berlalu tanpa kesan apalagi pesan. Saya mulai khawatir ia akan segera menutup tabulasi kiriman saya sehingga dengan spontan saya berkata, “Kalau di-tag sama istrinya ya di-like dong!”
Suami saya menjawab, “Memangnya perlu? Tanpa saya like pun kan kita’ sudah tahu saya perhatikan ki’.” Ia memang selalu menyapa saya dengan kita’, dalam dialek Bugis/Makassar, ini kata ganti orang kedua yang paling sopan, biasanya ditujukan kepada orang-orang yang kita hormati atau yang lebih tua dari kita. Ia tidak menyapa saya dengan ‘Kamu’ apalagi ‘Kau’ yang secara bahasa berada di bawah tingkatan kita’.
Saya tertawa dan berkata, “Jelas dong, itu perlu.”
Ia pun tertawa dan mengeklik tombol Like.
Masih tertawa, saya berkata, “Dasar laki-laki.”
Ternyata saya masih membutuhkan bentuk perhatian seperti itu darinya. Tetap rasanya beda jika yang nge-like suami sendiri. Kalau dengan 'paksaan' seperti ini? Hm ... yang jelas, saya puas setelah ia menekan tombol like he he he. Sudah 12,5 tahun kami menikah, hal-hal itu masih harus dibahasakan secara verbal. Tak mengapa, hingga seumur hidup pun jika itu memang harus dilakukan untuk menjaga hubungan kami, akan saya lakukan. Saya berharap ia menegur saya jika suatu saat saya lupa dengan janji saya.
Makassar, 18 November 2011
[i] John Gray, Ph. D., “Men Are from Mars, Women Are from Venus|Pria dari Mars, Wanita dari Venus| Petunjuk Praktis untuk Memperbaiki Komunikasi dan Memperoleh Apa yang Anda Inginkan dari Hubungan-Hubungan Anda”, Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Baca juga:
Jatuh dari Sepeda
Baca juga:
Jatuh dari Sepeda
No comments:
Post a Comment