Sumber gambar: attracthealing.wordpress.com |
Kemampuan navigasi saya parah. Sepertinya kecerdasan ruang-spasial saya memang rendah (hiks). Waktu masih kuliah, saya ke mana-mana seorang diri, termasuk menelusuri pasar Sentral untuk membeli sesuatu. Jalan masuk/keluar di/dari pasar itu ada pada keempat sisinya. Saya tak pernah bisa masuk dan ke luar di pintu yang sama. Setelah berputar-putar di dalam, saya tak pernah bisa menebak dengan benar arah yang harus saya tuju dengan singkat untuk sampai ke jalan ke luar yang sama dengan yang saya masuki sebelumnya (pentingkah? Tidak hehehe).
Kalau saya dan suami bernostalgia mengenai tempat-tempat yang pernah kami datangi, lalu ia menyebutkan sebuah tempat diiringi dengan pertanyaan, “Ingat, tidak?” Biasanya saya menjawabnya dengan, “Tidak.” Oya, saya punya jawaban lain selain kata ‘tidak’, yaitu: menggeleng-gelengkan kepala (haish ... sama saja!!)
www.sandersconsulting.com |
Pernah, seorang tante yang baru datang dari Jawa minta ditemani mengunjungi kerabat yang tinggal di jalan Onta Baru yang panjangnya cuma sekitar 200 meter. Saya mengiyakan saja, lalu kami pergi ke sana naik becak. Sampai ke tempat yang dituju, saya bingung rumahnya yang mana ya ... untung tante itu sabar jadi ia diam saja. Apa saya baru kali itu mendatangi rumahnya? Tidak, sebelumnya saya sudah empat atau lima kali ke sana. Tapi anehnya saya tidak bisa hafal juga yang mana rumahnya.
Kalau jalan Onta Baru itu panjangnya dua kilo meter mungkin masih wajar ya kalau saya lupa. Ini hanya dua ratus meter, ada landmark (sesuatu yang mudah dijadikan pengingat) pula berupa pekuburan umum. Seharusnya bagi orang yang memiliki taraf kecerdasan ruang-spasial yang normal ini hal yang sangat mudah, tinggal mengingat-ingat bentuk rumah dan kira-kira berapa jauh dari pekuburan itu tapi nasib saya sungguh malang. Setelah berputar-putar di situ-situ saja akhirnya kami menuju tempat lain ... ha ha ha (eh lucu ya ... lucu kan ... KD K DK D .... ).
Akhirnya saya menyadari dari mana bakat kelemahan pengetahuan arah dan tempat ini, rupanya warisan dari ayah saya! Genetika? Mungkin juga. Soalnya ayah saya ternyata seringkali lupa jalan padahal jalan itu sering dilaluinya. Ibu saya pernah mengeluhkannya. Saya pun pernah mendapatkannya sedang menjadi korban atas kelemahan ini sewaktu saya membonceng skuter hijaunya ke suatu tempat bertahun silam.
Untungnya saya masih bisa pergi dan pulang kampus atau ke tempat-tempat lain sendiri. Meski sering menemui hal-hal yang memalukan seperti kisah di atas. Yah, anggap saja itu bumbu perjalanan. Perjalanan dengan bumbu seperti itu asyik juga lho (idih kata siapa ... ngelesdotcom).
Pada suatu sore ... Pulang dari kampus, seperti biasa saya menggunakan angkot nomor 07. Seperti biasa pula turun di jalan A.P. Pettarani, di seberang masjid H. M. Asyik. Dari sini saya masih harus menyewa becak untuk sampai ke rumah. Kali itu saya takjub karena menemukan kemudahan. Kami tak harus memutar sepuluh meter di depan. Di dekat pangkalan becak itu sudah ada jalan memotong ke seberang.
“Ajaib,” pikir saya. “Kapan ya ini dikerjakan?” saya masih asyik dengan percakapan di benak sendiri. “Pemerintah tahu saja kebutuhan Kami,” kata suara di benak saya.
Sesampainya di rumah saya menceritakan hal itu kepada adik saya, Mirna.
“Sejak kapan ya, ada jalan pintas di situ?” tanya saya.
Mirna yang semula terbengong-bengong mendengar cerita saya lantas terbahak-bahak. Saya bingung. Apa yang lucu? Ini kan bukan cerita lucu?
“Hei, jalan itu kan sudah empat* tahun seperti itu. Masak sih Kamu baru sadar?” tukas Mirna.
“Ah, masak sih sudah 4 tahun? Rasanya baru-baru ini saja ...”
Mirna makin hebat terbahak-bahak nyaris terbatuk-batuk.
Sudah 4 tahun? Ke mana saja saya selama ini?
Saya tak punya pilihan lain selain ikut terbahak-bahak bersamanya hingga air mata kami keluar.
Makassar, 10 Januari 2012
“Mugniar berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi-Jeng Nia, disponsori oleh Jeng Anggie, Desa Boneka, dan Kios108”
NB:
*Setelah posting tulisan ini. Saya jadi ragu, saat itu Mirna bilangnya sudah 4 tahun atau sudah 2 tahun ya? Kejadian ini ril, fakta, kenyataan (haduh segitunya penekanannya hehehe). Tapi kemampuan mengingat detil saya kadang-kadang di bawah garis normal (suami saya sering menertawakan saya karena hal ini ... hiks). Jadi maafkan saya mak-mak kecebong tiga warna dan para pembaca. Hanya saja saya minta .... minta dengan sangat: biarkanlah yang tertera di situ tetap 4 tahun (dibulatkan ke atas gitu) soalnya kisah ini lebih lucu dengan bilangan 4 tahun itu (bukan begitu? begitu bukan?) ... ^_*
Setelah baca yang ini ... boleh koq baca yang lainnya juga :
Kamar Mandi is Affiq’s Favorite
Perjalanan Menuju Trans Studio
Birokrasi dan Sistem Administrasi Sepanjang Zaman?
No comments:
Post a Comment