Saya melihat dengan mata kepala sendiri, perempuan itu berlalu di hadapan saya sambil menutupi rambut dan wajahnya dengan kerudung. Hampir saja saya menyapanya tetapi seperti ada yang menahan saya sehingga saya membatin, “Jangan sapa ia, mungkin ia sedang ‘bersembunyi’.”
Seorang kawan mengatakan, “Ia malu.”
“Malu? Kenapa malu?” tanya saya.
“Sebab ia telah menikah lagi.”
“Hei, itu kan bukan hal yang memalukan?”
Saya pernah bertemu dengan suami terdahulunya. Saat itu lelaki itu membawa putra kedua mereka berobat, bersama dengan pengasuh sang buah hati. Perempuan itu tak tampak bersamanya, pasti sedang tak bisa menemani putranya karena sebenarnya perempuan itu ibu yang baik, biasanya ia yang menemani buah hatinya.
Sumber: http://clipartof.com |
Saya mendapat giliran lebih dulu dari lelaki itu. Saat saya hendak pulang, saya menghampirinya yang sedang ber-HP ria di dalam mobil miliknya. “Pak, giliran anaknya sekarang,” saya memberitahu. Reaksi lelaki itu di luar dugaan, dengan mimik cuek, ia memberi isyarat dengan tangannya. Seolah mengatakan, “Sudah ada yang menemani anak saya.” Sambil berjalan, saya memperhatikan lelaki itu. Ia tetap asyik dengan HP-nya, tak kelihatan keinginan beranjak dari jok mobilnya. Heran, anaknya sakit, ayahnya koq kelihatan tak peduli.
Lama saya tak melihat lelaki itu. Tetapi saya mendengar kabar tak sedap tentangnya. “Ia suka main perempuan,” kata seseorang yang bisa saya percaya. Astaghfirullah, padahal ia sudah memiliki tiga orang anak yang sehat dan lucu!
Beberapa bulan kemudian, saya bertemu dengan perempuan itu bersama suami barunya dan seorang bayi mungil – buah cinta mereka. Kali ini perempuan itu menyapa saya dengan hangat, ia tak sembunyi-sembunyi lagi. Saya tak bertanya apa-apa tentang pernikahan keduanya. Saya hanya menanyakan usia si mungil. “Satu bulan,” jawabnya.
Seminggu kemudian saya bertemu lagi dengannya. Kali ini ia bersama suami barunya dengan dua orang anak dari pernikahan terdahulunya. Anak-anak itu memanggil suami barunya dengan sebutan khas suatu daerah yang berarti ‘Ayah’. Lelaki ini bercerita tentang kebiasaan baru putra tirinya dengan hangat, seolah anak usia lima tahun itu anak kandungnya sendiri. Saya sungguh tergugah melihat kebersamaan mereka yang indah itu.
Saya mengenal beberapa orang yang memiliki takdir serupa perempuan itu. Seperti perempuan itu, mereka pun memilih berpisah. Tak mempertahankan hal yang tidak mendatangkan kenyamanan. Untuk apa suatu hubungan yang timpang dipertahankan? Toh seyogyanya hubungan antara dua insan saling memberi manfaat, saling menenteramkan. Jangan mimpi bahagia akan tergapai jika salah satunya selalu merasa terzalimi.
Mereka memilih tak kembali bersama karena mantan mereka tak menyediakan peluang untuk meraih sakinah bersama. Sakinah ma waddah wa rahmah bukan slogan semata. Ia harus diwujudkan dengan sadar oleh kedua belah pihak, bukan hanya dari satu pihak.
Jika ditimbang mudharat lebih berat daripada manfaat, penderitaan lebih banyak daripada kebahagiaan. Apalagi jika pasangan tak bisa sama sekali diajak berkomunikasi dan berkompromi. Untuk apa kembali kepadanya? Lebih baik memilih bahagia di kesempatan kedua, dengan orang yang berbeda!
Makassar, 20 Februari 2012
Silakan dibaca juga:
No comments:
Post a Comment