Sumber: http://hsb.wikipedia.org |
Hm ... barangkali ia akan membuangnya atau menggantinya dengan yang baru.
Mengapa seseorang bisa bosan kepada sesuatu?
Bisa jadi karena sudah tidak menarik lagi karena ada yang lain yang lebih menarik lagi atau sudah tidak bermanfaat lagi.
Lha kalau bosan kepada pasangan, bagaimana? Masak mau dibuang, diganti dengan yang baru dengan alasan sudah tidak menarik lagi, ada yang lebih menarik, atau sudah tidak bermanfaat? Tidak semudah itu kan?
Bagi saya, seseorang berjodoh atau tidak itu sebenarnya ada tanda KLIK di hati, namun KLIK itu bisa saja tertutup oleh hal-hal lain, oleh orang lain yang kelihatan lebih ‘menyilaukan’ misalnya. Kalau Allah ridha, sehingga kita bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan, rasa KLIK itu akan tetap ada seiring dengan penyesuaian diri di mana-mana. Rasa KLIK itu tidak akan hilang.
Bukan hal yang mudah bagi dua orang berbeda latar belakang dan karakter untuk menyatu di dalam mahligai pernikahan. Keduanya haru sama-sama menyadari proses penyesuaian diri dan bergerak bersama untuk mendapatkan irama yang sama. Jangan harapkan pasangan berubah sesuai kemauan kita, itu mustahil. Lebih baik sama-sama menyadari perbedaan yang ada dan seirama dalam mengarungi hidup dengan perbedaan itu. Toh di samping perbedaan, ada persamaan yang bisa menautkan kita? Sama-sama suka buku, atau sama-sama suka makan makanan berbumbu misalnya?
Kesadaran kedua belah pihak mutlak dalam hal ini.
Begitu pun dalam mengakui kelebihan dan kekurangan pasangan. Sebaliknya, diri kita juga harus mampu mengakui kekurangan kita – bukan hanya kelebihan kita. Jangan larut dan tenggelam dengan memaknai frasa, “Kalau bukan saya yang ... tentu ia tak ...”
Berhenti lakukan itu jika kita termasuk orang yang suka memperbandingkan diri kita dengan pasangan seperti itu. Yang benar adalah jujur mengakui kita sama-sama punya kekurangan dan sebaliknya, juga sama-sama memiliki kelebihan. Dan kekurangan kita mampu ditutupi oleh pasangan kita, sebaliknya pula kekurangan pasangan kita mampu kita tutupi. Itu makanya menikah berarti juga melengkapi diri kita, membuat diri kita utuh sebagai manusia. Dengan demikian bahtera rumahtangga dapat kita arungi dengan baik. Meski ada badai sekali pun, badai itu tak berarti apa-apa dibanding keselamatan rumahtangga kita.
Bagaimana jika rasa BOSAN melanda?
Coba teliti, barangkali kita bosan pada perilakunya saja, bukan pada orangnya?
Barangkali rasa bosan itu hanya bentuk lain dari rasa kesal?
Coba jujur mengintrospeksi diri, barangkali kita saja yang terlalu menuntut banyak darinya?
Coba tanyakan, apa yang ia inginkan dari diri kita. Sebagai gantinya, komunikasikan baik-baik apa yang kita inginkan darinya.
Coba ingat-ingat lagi segala kebaikannya dan tulis di dalam daftar. Barangkali saja dengan demikian kita sadar bahwa kebaikannya jauh lebih banyak daripada hal yang menyebalkan dalam dirinya?
Kalau tidak bisa juga, bagaimana?
Coba pikirkan, renungkan baik-baik dengan jujur segala manfaat dan mudharat hidup bersamanya karena sejatinya pernikahan diinginkan siapapun untuk kekal, sampai di kampung akhirat. Tetapi jika mudharatnya lebih banyak, bagaimana?
Hanya satu caranya, tanyakan kepada Sang Pemilik Hidup. Minta ampun, menyadari diri begitu kerdil di hadapan-NYA, dan berdo’a sebanyak mungkin, berulang kali. Shalat istikharah dan tahajud sebanyak mungkin, berulang kali. Sampai IA memberikan kita jawaban harus bagaimana.
Makassar, 17 Februari 2012
Tulisan ini diikutkan pada program BLOGGER BICARA CINTA di Blogdetik.
Silakan dibaca juga tulisan-tulisan ini
No comments:
Post a Comment