Saat melihat bungkus SOTOJI (SOTO Jamur Instan), Affiq – si sulung berkata, “Mau, Ma.” Ia memang gemar mencoba hal-hal baru, termasuk makanan atau minuman baru. Jamu yang dijajakan oleh penjual jamu bersepeda saja dicobanya, dan tak saya sangka ia menyukainya. Mudah-mudahan saja ia menyukai SOTOJI yang jelas-jelas bukan jamu.
Terus terang saya pun penasaran, baru kali ini saya melihat ada makanan instan yang dikombinasi dengan jamur tiram. Pastinya kandungan gizinya mantap. Jamur tiram mengandung 9 macam asam amino yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin, dan fenilalanin. 72% lemak dalam jamur tiram adalah asam lemak tidak jenuh sehingga aman dikonsumsi baik yang menderita kelebihan kolesterol (hiperkolesterol) maupun gangguan metabolisme lipid lainnya. 28% asam lemak jenuh serta adanya semacam polisakarida kitin di dalam jamur tiram diduga menimbulkan rasa enak[i]. Waah, bergizi dan ‘menimbulkan rasa enak’ ... itu poin-poin rekomendasi penting untuk mencoba makanan ini.
Saya membaca cara memasaknya. Gampang, seperti makanan instan lainnya. Sounnya direbus bersama jamur tiram goreng di air mendidih, sementara itu bumbu-bumbunya disiapkan. Hanya dua menit saja waktu yang saya butuhkan untuk memasaknya (memasaknya lebih instan dari mie instan) maka siaplah SOTOJI untuk disantap.
Slurp nyam nyam nyam |
Hmmm ... aromanya sangat menggiurkan. Taburan jamur tiram gorengnya membuat tampilannya unik. Sebelum memanggil Affiq, saya mencicipinya sesendok. Enak. Rasa sotonya asli banget, sangah khas, berbeda dengan rasa soto pada mie-mie instan yang pernah saya rasakan tetapi rasanya persis rasa soto betulan. Rasa khasnya pasti karena adanya jamur itu. Mudah-mudahan saja Affiq suka.
Affiq mencicipi SOTOJI yang saya siapkan. “Enak, Ma,” katanya.
“Tapi Saya tidak mau ayamnya,” katanya lagi.
“Itu bukan ayam, Nak. Itu jamur goreng,” sahut saya.
Memang sekilas, jamur tiram goreng itu persis ayam suwir-suwir goreng. Saya sudah merebusnya sesuai instruksi pada bungkusnya tapi mengapa masih agak keras yah? Apa memang seperti itu? Sepertinya ini yang membuat Affiq tak berkenan pada jamurnya. Padahal itu komponen penting penyumbang gizi terbanyak pada SOTOJI. Mungkin untuk penyajian berikutnya, saya harus merebus jamurnya dengan waktu yang lebih lama dan memotong-motongnya kecil-kecil supaya Affiq bisa menyantapnya dengan lebih nyaman ya. SOTOJI tanpa jamur mah bukan SOTOJI namanya. Tanpa jamur namanya soto ji (dalam dialek Makassar frasa ‘soto ji’ berarti ‘soto biasa’).
Affiq menghabiskan SOTOJI-nya dengan bersemangat. Setelah tandas, ia berkata, “Masih mau, Ma. Tapi jangan pakai ayam.”
Itu jamur, Nak. Bukan ayam. J
Makassar, 21 Februari 2012
Tulisan ini diikutkan pada lomba blog Sotoji yang diselenggarakan oleh Sotoji bekerjasama dengan Komunitas Blogger Depok ‘deBlogger’ .
Silakan dibaca juga:
No comments:
Post a Comment