Thursday, April 21, 2011

Menikah Berarti Menuju ke Balik Tembok Itu!

            Seorang pemuda lajang yang masih di awal tahun pertama kuliah, menuliskan status “Menikah dengan ...” di status hubungannya di Face Book. Begitu pula dengan status kekasihnya, tertulis menikah dengan sang pemuda. Sambil geleng-geleng kepala, tergumam dalam hati, “Kamu tidak tahu Nak, seberat apa ternyata yang namanya pernikahan. Menikah itu tidak seringan mengucapkannya dan menuliskannya”. Itulah makanya di dalam al-Qur’an ia disebut ‘mitsaqan ghalizha’, yang berarti ‘perjanjian yang sangat berat’. Karena peminangan adalah salah satu bentuk pengagungan kepada Allah SWT. Kita mengagungkan Allah dengan menghalalkan karunia kecintaan kepada lawan jenis melalui pernikahan[i].
            Menikah berarti menuju tembok tinggi, di mana kita sama sekali tidak tahu apa yang ada di baliknya. Setelah akad, kita dibukakan ‘pintu’ untuk menuju balik tembok itu. Setelah itu, seiring berjalannya waktu kita akan sering terpesona, terhenyak, ataupun terpuruk dengan kalimat, “Ooo seperti ini ya rasanya menikah?”. Itu makanya ada pasangan yang hanya betah bertahan selama setahun padahal mereka sudah saling mengenal lebih dari lima tahun.
            Di balik tembok itu ada beragam rasa. Ada manis, ada asin, ada asam, bahkan ada pahit. Di balik tembok itu ada suka dan ada pula duka. Dukanya bisa berbanding lurus dengan suka, atau ‘pergerakan’ dukanya eksponensial terhadap suka. Tetapi bisa jadi pergerakan suka yang eksponensial terhadap duka karena pasangan yang menjalani pernikahan ini ikhlas bersikap abai terhadap duka yang mengemuka. Melalui tembok itu berarti menantang iblis karena iblis sangat suka mengganggu keharmonisan rumah tangga sepasang insan. Karena iblis sangat tak suka ada rumah tangga yang memiliki pondasi iman dan takwa yang kuat, sehat jasmani lagi ruhani, yang bisa menghasilkan keturunan yang tangguh sehingga berhasil mengemban misi khalifatul fil ‘ardh yang sesungguhnya.
            Bahtera rumah tangga yang berlayar di balik tembok itu tidak hanya mendapat laut yang tenang tetapi juga ombak yang memabukkan, bahkan badai yang bisa mematikan. Bukan mematikan badan, tetapi mematikan hati penumpangnya. Di balik tembok itu setiap saat ada ujian yang bisa datang dari mana saja. Yang terberat adalah mereka saling menguji satu sama lain dengan egoisme mereka masing-masing. Dan jika ingin memenangkan pertarungan dunia-akhirat, mereka harus senantiasa kembali kepada niat semula: ibadah. Dalam ibadah ada sabar, syukur,  dan ikhlas. Di balik tembok itu, Allah janjikan beragam pahala, mulai dari pahala sedekah hingga pahala jihad. Subhanallah. Namun jika tak pandai-pandai berlayar, ancaman neraka-Nya menyerta.
            Oleh karenanya, berbekallah menuju tembok itu! Ada puluhan bahkan ratusan rumah tangga di sekitar. Ada puluhan, bahkan ratusan buku yang membahas mengenai pernikahan. Ada televisi, juga internet. Ada munajat yang bisa dipinta kepada Sang Pemilik Hidup. Demikian pun kala bahtera sudah berlayar, bekal haruslah terus ditambah. Jangan sampai bahtera itu karam, jangan sampai penumpangnya kelaparan. Jika dua insan sama ikhlas, genggaman tangan mereka akan sangat kuat. Jiwa mereka bersatu. Jangankan ombak yang memabukkan atau badai yang mematikan, bahkan iblis yang laknat pun tak bisa mengalahkan mereka. Jikalau badai teramat sangat dahsyat (yang berarti iblis menggoda dengan cara yang teramat sangat jahat). Sebisa mungkin janganlah berbalik kembali. Karena itu berarti harus membobol tembok yang sudah tertutup di belakang, dan pasti akan ada kerusakan dan kepiluan. Maka jelas ada noda tertoreh pada catatan amal kelak di yaumil akhir.
Makassar, 21 Apil 2011

Renungan buatku yang telah memasuki usia 12 tahun pernikahan. Dan buat siapa saja yang bersedia ikut merenung bersamaku. Mudah-mudahan keberkahan di anugerahkan oleh-NYA, Sang RahmanirRahim, di dunia dan akhirat.



[i] Mohammad Fauzil Adhim, “Kupinang Engkau dengan Hamdalah”, Mitra Pustaka, 1998.

No comments:

Post a Comment