Saturday, July 30, 2011

Jatuh yang “Alhamdulillah” (Refleksi Hati Emas Seorang Perempuan)

Rumah Bugis di Malimpung,
desainnya lebih modern

Saat kami berlima kembali dilanda ‘batuk berjama’ah’, ada berita dari adik suami saya bahwa ibu mertua saya jatuh dari rumah tradisional Bugis yang ketinggiannya di atas 3 meter. Beberapa hari sebelumnya suami saya ditelepon oleh adiknya, memberitakan tentang pernikahan keluarga dekat mereka di kampung, di daerah Malimpung, kabupaten Pinrang. Suami saya ragu-ragu pergi karena ia batuk agak keras, saya dan Afyad pun tengah batuk keras, Afyad sering sekali muntah karena banyak lendir di saluran pernapasannya. Kondisi Afyad ini yang semakin membuat ia ragu-ragu untuk pergi. Sementara Affiq dan Athifah yang tadinya sudah mulai sembuh, kembali batuk-batuk lagi. Ini karena cuaca ekstrim yang terjadi saat ini. Kami berlima alergi udara dingin. Akhir-akhir ini, dinginnya suhu serasa menembus sumsum tulang hingga membuat saluran pernapasan kami terganggu. Namun mendengar berita jatuhnya ibu, suami saya bersiap-siap pergi. Saya tak keberatan ia pergi demi ibunya, tak baik juga baginya terlalu menimbang antara ibunya dan anak kami. Meski berat ditinggal olehnya saat anak kami sedang sakit, saya yakin jika melepasnya dengan ikhlas demi ibunya, insya Allah Afyad tidak apa-apa. Insya Allah, keikhlasan merupakan jalan bagi kesembuhannya dan mendatangkan berkah bagi keluarga kami.

Rumah Bugis di Malimpung,
desain tradisional
Ibu mertua terjatuh dari teras rumah pada malam hari saat hendak mengambil jemuran. Sebelumnya, hingga sore hari teras itu difungsikan juga menjadi tempat mengolah adonan kue. Kerabat berseliweran, hilir-mudik di teras yang baru saja diperbaiki sehari sebelumnya. Tidak terjadi apa-apa, hingga malam itu beliau berdiri di situ dan jatuh. Tiba-tiba saja papan yang dipijaknya terlepas dan beliau turun lurus ke bawah melalui lubang yang terbuka, terduduk sesaat, lalu terpental dan membawanya dalam posisi sujud. Papan yang terlepas itu sebenarnya terpaku rapat, entah mengapa tiba-tiba terbuka, menguak celah untuk dilalui tubuh beliau. Papan yang ‘aneh’ itu tergeletak begitu saja, masih utuh, tak pecah. Itulah takdir, saat kalam Allah memutus terjadi, maka terjadilah ia.
Tersadar takdir itu bukanlah hal yang buruk, perempuan yang kebijakannya kukagumi ini berulang kali berseru, “Alhamdulillah ... alhamdulillah,” hingga kerabat di sekitarnya terheran-heran mengapa ia bersyukur setelah terjatuh. Beliau menjawab, “Alhamdulillah, saya tidak apa-apa. Alhamdulillah, tulang-tulang saya tidak patah.”
Jalan poros yang menghubungkan
kabupaten Pinrang dan
kabupaten Enrekang
Kemarin, saya berbincang dengan beliau. Beliau mengisahkan kronologis kejadian itu. Beliau menceritakan perasaan dan pikirannya saat kejadian: “Saya ingat sepupu yang habis jatuh. Usianya baru lima puluh tahunan. Sekarang ia tidak bisa bergerak, hanya terbaring di tempat tidur. Jika ingin bangun, harus ada dua orang yang menariknya dengan sarung. Sarung itu dililitkan ke badannya, lalu kedua orang itu menarik tubuhnya hingga bangkit dari pembaringan.”
Lalu beliau melanjutkan, “Alhamdulillah, walau masih ada sedikit rasa sakit yang tersisa, Saya tidak apa-apa. Yang terpikir saat itu adalah ketakutan, bagaimana jika nasib saya sama dengan nasib sepupu itu. Bisa-bisa anak-anakku jadi durhaka.” Banyak orang tak sabar mengurus orang yang sudah invalid, sudah tak bisa melakukan apa-apa, hanya tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Sepupu beliau diurus anak kandung yang suka mengomel karena tidak sabar. Sudah tentu anak model begini dicap durhaka oleh orang yang melihatnya. Ibu mertua saya tak ingin merepotkan anak-anaknya. Beliau tak ingin menjadi beban anak-anaknya. Beliau tak hendak membuat anak-anaknya menjadi durhaka karena beratnya amanah merawat orang invalid. Subhanallah ibu, pemahaman holistikmu sungguh membuat saya terharu. Baru kali ini saya mendengar ada ibu yang takut membuat anaknya menjadi durhaka. Saya tak pernah mendengar seorang ibu berbicara seperti ini.
Bekas bom sekutu pada zaman Jepang,
dijadikan wadah air oleh warga

Rumah tradisional Bugis di Malimpung.
Pengambilan fotonya lurus, pagar tanamannya lurus,
yang aneh hasil foto rumah dan pohonnya tampak miring.

Allah, saya berani bersaksi. Selama 12 tahun lebih saya menjadi menantu beliau, ibu sungguh merupakan orang yang ikhlas. Beliau-lah perempuan berhati paling luas yang pernah saya temui sepanjang usia saya. Tak pernah ada tekuk murka di wajah bijak beliau, tak pernah ada keluh-kesah dari bibir santun beliau. Beliau tegar, sabar, dan pekerja keras. Meski ada sikap dan perilaku anak-anak beliau yang tidak berkenan di hati beliau, beliau lebih memilih diam. Berkahilah keemasan hati beliau ya Allah ... terima kasih Engkau izinkan saya menjadi anak beliau.
Makassar, 31 Juli 2011

Tulisan lain yang terkait:

No comments:

Post a Comment