Thursday, November 24, 2011

Belajar dari Tamparan Seorang Kompasianer

Pfuh ...
            Hari beberapa hari ini saya belajar beberapa hal dari tamparan seorang Titi.
            Bukan hendak memperpanjang polemik kawan. Kasus ini sudah ditutup setelah berita Cerita Panjang Akun Kompasiana Bernama Titi dari admin Kompasiana dirilis kemarin. Hanya hendak menelusuri bekas-bekas tamparan Titi yang masih terasa.
            Kompasiana sungguh merupakan media yang menarik. Di sini, ada banyak hal bisa diperoleh: bukan hanya belajar membuat tulisan yang menarik judul dan isinya sehingga banyak orang tertarik untuk menerima ini sebagai tantangan agar mendapatkan pembaca sebanyak mungkin. Imbasnya, seorang kompasianer bisa menjadi populer, kawan. Populer itu asyik. Populer itu melenakan.
            Predikat terverifikasi ternyata bukan jaminan bahwa yang ditulis seseorang itu bukan kebohongan. Bisa jadi orangnya ada namun kisah atau berita yang ditulisnya adalah fiksi. Ah Titi, seandainya sejak awal kamu memilih kanal Fiksi untuk mempublikasikan tulisan-tulisanmu lalu belajar menulis fiksi dengan sungguh-sungguh (saya yakin peminat fiksi di Kompasiana pasti banyak yang bersedia mengajarimu), mungkin saja tulisan-tulisanmu bisa dibukukan lho.
            Namun kini apa yang terjadi. Kamu bagai dihempas ke tanah seketika dari balkon bernama popularitas itu. Hanya satu kali jentik jari BLAS ... akunmu amblas. Sungguh sayang sebenarnya karena ada potensi besar dari dalam dirimu jadi tertutup jalannya untuk dieksplorasi. Kamu menyia-nyiakan media besar yang bisa mengantarkanmu ke jenjang berikut dari kepopuleranmu, dari hanya sekadar penulis berita dengan pembaca terbanyak.
            Hanya karena satu hal yang tak ada dalam dirimu Titi: kejujuran. Ya, jujur sejatinya terintegritas dalam dirimu. Dan hari ini saya benar-benar sadar, bahwa bukan hanya dirimu yang harus memiliki kejujuran yang terintegritas itu Titi, bukan. Semua kompasianer harus memilikinya. Dan integritas itu bukannya terjadi satu dua hari ini saja. Bukannya terjadi saat ada orang yang datang hendak menyelidiki keakuratan tulisan kita.
Tetapi ia seharusnya terbentuk bertahun-tahun lalu sejak kita masih kecil, atas didikan orangtua kita, atas pemahaman agama kita. Bahkan sejak kita dalam kandungan ia sudah diusahakan oleh orangtua kita – karena mereka pun telah mengintegrasikan kejujuran dalam karakter mereka sejak lama, berkat ajaran kakek-nenek kita dan berkat pemahaman akan ajaran agama kita. Kemudian kejujuran itu kita bawa ke mana pun kita pergi, mengejawantah dalam setiap perilaku kita.
Untuk suatu ironi: terimakasih Titi atas tamparanmu yang telah mengobrak-abrik naluri keibuanku yang naif. Setidaknya masih ada yang bisa dipelajari dari peristiwa ini. Satu poin besar saya garisbawahi lagi, ini PR besar bagiku yang memiliki tiga buah hati, untuk serius mengusahakan kejujuran terintegrasi dalam karakter ketiganya. Satu tanya kini menggelayut, “Bagaimana perasaan orangtuamu - Titi jika tahu hal ini?”
Makassar, 24 November 2011





Berikut kutipan dari artikel Cerita Panjang Akun Kompasiana Bernama Titi:
Hari ini, saya menghubungi tiga orang yang tinggal di daerah Purwokerto.Pertama, saya menelepon Titi pukul 14:53 waktu BlackBerry saya. Lalu saya telepon Mbak Dyah jam 15:09. Dan usai membaca hasil investigasi Mas Singgih, saya buru-buru menelponnya pukul 16:28.
Setelah serpihan-serpihan informasi seputar fakta di balik akun Kompasiana bernama Titi (www.kompasiana.com/titi) beredar silih-berganti di Kompasiana, hari ini saya memiliki informasi cukup untuk memberi penjelasan dan mengambil tindakan. Penjelasan seputar akun Titi, dan tindakan yang patut diambil Kompasiana atas akun ini.
Fakta-fakta tersebut dikumpulkan dan dituliskan para Kompasianer secara kolaboratif, berdasarkan informasi yang mereka dapat selama berkompasiana dan berdasarkan informasi yang mereka ketahui selaku warga Purwokerto. Semuanya mencoba menjawab misteri di balik akun Titi yang diduga sebagai akun fiktif dan terkait dengan dr Anugra-keduanya tinggal dan bekerja di tempat yang sama: Baturaden, Banyumas.
Sebelum saya menceritakan isi pembicaraan dengan tiga orang di atas, saya mau bercerita dari awal, agar bangunan informasi yang diterima teman-teman Kompasianer utuh.Cerita panjang ini bermula dari tulisan seorang warga Purwokerto yang menggunakan nama pena Dyah Ayu Ratnasari. Tanggal 15 November 2011, lewat dua tulisan pertamanya, Dyah mengkritisi salah satu tulisan Titi yang menceritakan sosok dokter atasannya yang disebut sebagai ” dokter ahli bedah kanker yang memiliki klinik nan asri di kawasan wisata Baturaden”.
Di tulisan pertama, Dyah menulis, “Dari hasil penelusuran didapatkan ada seorang dokter ahli bedah kanker di Purwokerto tetapi menurut sumber berita yang sangat layak dipercaya beliau tidak memiliki klinik dan aset aset seperti yang pernah dituliskan oleh adik Titi.”Lalu di tulisan kedua, Dyah menyantumkan nama dr Anugra di judul tulisan dan mencoba mencari tahu hubungan antara kedua Kompasianer tersebut (Anugra membuat akun di Kompasiana sejak 25 Desember 2008, sedangkan Titi sejak 16 April 2010). Saya kutipkan sebuah fakta yang menurut Dyah perlu diketahui semua orang, khususnya masyarakat Purwokerto:
“Awal membaca tulisan Titi saya beranggapan bahwa dokter yang dimaksud dalam tulisan tersebut adalah dr. L, satu satunya dokter ahli bedah kanker di Purwokerto yang saya kenal, setelah mengikuti beberapa tulisan saya ragu karena sepengetahuan saya beliau tidak tinggal dan memiliki klinik di Rempoah dan tidak memiliki Istri yang sedang hamil.”
Dua tulisan Dyah tadi ditayangkan sehari setelah nama Titi tercantum di daftar 10 nominator Kompasianer Favorit 2011. Melihat faktor kebetulan ini, beberapa pembaca menganggapnya sebagai sebuah lelucon. Apalagi Dyah baru membuat akun di hari yang sama. Tanpa foto dan tanpa tanda TERVERIFIKASI. Sementara akun Titi sudah terverifikasi, lengkap dengan KTP yang dikeluarkan oleh Kabupaten Banyumas (informasi detil identitas akun terverifikasi selamanya dirahasiakan).
Saya membaca dua tulisan Dyah hingga tuntas, dan memilih untuk menunggu perkembangan selanjutnya. Tak lama berselang, seorang Kompasianer di Solo menghubungi saya dan memberi kesaksian bahwa Dyah adalah orang yang dia kenal dan tulisannya tidak bertendensi menyerang atau mencemarkan nama baik orang lain. Tapi karena akun Dyah baru dibuat dan belum terverifikasi, saya meresponnya dengan datar.
Keesokan paginya, dr Anugra menelepon saya dan mengungkapkan kegusarannya atas tulisan Dyah tersebut. Dia tidak habis pikir kenapa namanya kembali disebut-sebut. Dan kasus yang diangkat adalah kasus yang sama dengan yang pernah terjadi dua tahun lalu (keraguan atas gelar dan profesi dr Anugra).
Saat saya tanya hubungannya dengan Titi, dia mengaku mengenal Titi sebagai asisten dokter temannya. Setelah itu, percakapan lewat telepon ditutup dengan komitmennya untuk tidak menanggapi ‘tuduhan basi’ tersebut.
Dalam waktu singkat, tulisan Dyah mendorong banyak Kompasianer lain untuk ikut menyoroti akun Titi dan kembali membincang dr Anugra. Ada yang mempertanyakan penghapusan dua tulisan Titi, dan tidak sedikit yang menceritakan kembali kasus-kasus lama yang sampai saat ini masih belum jelas seperti identitas pemilik akun Olive dan gelar serta profesi dr Anugra.
Tapi bersamaan dengan itu, Titi yang sebelumnya gemar menulis di Kompasiana (dalam sehari dia pernah menayangkan tiga tulisan) dan rajin membalas komentar tiba-tiba menghilang. Dia tidak menanggapi tuduhan-tuduhan di atas. Juga tidak membuat tulisan klarifikasi. Tulisan terbarunya terhenti di tanggal 15 November 2011.
Titi juga tidak merespon pesan pribadi yang saya kirim dan teleponnya tidak bisa dihubungi. Waktu itu, 17 November 2011, saya menanyakan tanggapannya terkait dua tulisan Dyah. Pada hari yang sama, Dyah menghubungi saya, ingin melakukan verifikasi akun. Beberapa hari kemudian, akunnya terverifikasi, namun Titi masih bungkam.
Hingga akhirnya, Selasa (22/11) kemarin, Titi menayangkan sebuah tulisan yang ditunggu-tungguoleh para Kompasianer, khususnya yang mengikuti kasus ini. Tapi sayang, yang ditulis Titi bukan sebuah klarifikasi, tapi sebuah sikap penyesalan atas adanya tudingan-tudingan yang disebutnya sebagai aksi provokasi atas dirinya.Lebih lanjut Titi menulis,“Banyak sekali yang meminta saya untuk mengklarifikasi siapa sesungguhnya saya ini, dan banyak yang meminta saya untuk menjelaskan semuanya, tapi saya sadar buat apa saya menjelaskan semuanya kalau nanti justru menjadi boomerang bagi saya sendiri, lagi pula saya bukanlah siapa-siapa….”
Usai membaca tulisan Titi, saya kembali mencoba menghubunginya via telepon. Lagi-lagi tidak bisa dihubungi. Kebetulan Selasa merupakan tenggat waktu produksi lembar Kompasiana Freez yang tayang setiap Kamis di Harian Kompas-sehingga saya tidak bisa fokus dalam menelusuri kasus ini.
Nah, siang tadi, saya mencoba kembali menelepon Titi. Berharap ada klarifikasi dari yang bersangkutan. Apapun yang diucapkan Titi akan menjadi pegangan bagi saya dalam menyikapi kasus ini. Tapi meskipun berhasil dihubungi, saya tidak mendapatkan jawaban apapun!Begitu sadar yang menelepon adalah saya, Titi berulang kali meminta maaf. “Saya lagi di jalan. ini hujan. maaf sekali ya mas.” Katanya berulang-ulang. Pertanyaan saya pun dijawab dengan ungkapan yang sama. Saat saya tanya apakah dia sedang berada di angkutan kota, dia bilang sedang di motor. Tapi suaranya terdengar jernih, tanpa gangguan suara motor ataupun gemuruh hujan.
Setelah Titi menutup telepon, saya menghubungi Dyah yang sehari sebelumnya mengirim email berisi alasan lengkap mengapa dia ingin mengungkapkan kebenaran di balik akun Titi. Via telepon, Dyah mengaku mendapatkan data-data akurat dari DINKES dan IDI Banyumas. Niat utamanya adalah mengungkapkan fakta bahwa dr.anugra adalah dokter umum dan tidak ada klinik bedah kanker serta aktivitas dokter bedah kanker di klinik desa rempoah. Fakta itu perlu diungkapkan sebenar-benarnya agar masyarakat terlindungi dari praktek dokter yang tidak sesuai kompetensinya serta melindungi kesalahan persepsi Kompasianer terhadap dokter bedah kanker yang asli yang bertugas di Purwokerto.
Lewat email, Dyah menuliskan dua fakta penting berikut yang merupakan bantahan atas apa yang pernah ditulis Titi:
  • dr. Anugra Martyanto adalah seorang dokter umum.
  • Dokter bedah kanker di Purwokerto dan sekitarnya hanya ada seorang, yaitu dr. L. (identitas aslinya sengaja saya samarkan), tidak memiliki klinik di Desa Rempoah, Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas, dan tidak memiliki aset-aset dan aktivitas seperti yang diceritakan oleh TITI.
Setelah menerima penjelasan tersebut, saya masih bertanya-tanya, apa yang menghubungkan antara dr Anugra dan Titi? Apakah dokter pemilik klinik tempat Titi bekerja adalah dr Anugra? Lantas bagaimana cara membuktikan bahwa akun Titi terkait erat dengan dr Anugra?Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena Titi tidak pernah menyebut nama dokter atasannya di dalam tulisan-tulisan di Kompasiana (kecuali di beberapa tulisan yang dia hapus tanpa penjelasan).
Untuk membuktikan identitas pemilik akun Titi dan kaitannya dengan dr Anugra, tidak bisa dilakukan dengan kajian dan penyelidikan data di dunia maya. Harus ada yang turun langsung ke lapangan dan mengecek ke lokasi.
Dan itulah yang kemudian dilakukan oleh Singgih. Dia mendatangi alamat dr Anugra di Klinik Griyo Waluyo, Jl Perapatan Tengah No 25, Desa Rempoah, Baturraden, Jawa Tengah. Alamat ini didapat dari dr Anugra sendiri yang menuliskannya di kolom komentar tulisan Rosiy, 18 November 2009.
Sepulang dari klinik, Singgih langsung menuliskan hasil investigasinya di sini. Setelah membaca tuntas laporan tersebut, saya bergegas menelepon Singgih untuk mengkonfirmasi hasil penyelidikannya.
Singgih menjelaskan, pagi tadi bertemu dengan Titi dan dr Anugra di sebuah rumah praktek dokter umum (Singgih berulang kali menyebut tempat itu bukan klinik karena tidak terlihat seperti klinik dan tidak ada plang nama klinik). Setelah bersalaman dengan Titi dan dr Anugra, Singgih langsung meminta konfirmasi atas tulisan paling menghebohkan yang pernah dibuat oleh Titi (dibaca oleh 340 ribu lebih orang), yaitu berita meninggalnya seorang bayi saat ibunya menggunakan BlackBerry.
Jawaban dr Anugra sungguh di luar dugaan. Berikut laporan Singgih:“Pertama, saya mendapat keterangan dari Beliau bahwa tulisan tersebut benar asistenya (Sdri. Titi) yang mengetik dan publish, sumbernya dari dr. Anugra yang cerita. Dan cerita tersebut katanya memang benar terjadi tapi tempat kejadiannya di salah satu klinik di mana dr Anugra prakter di Jakarta Selatan tepatnya di jalan Fatmawati dan klinik tersebut sekarang sudah di tutup, dan kejadian tersebut tahun 1990, dan tempat kejadianya bukan di Purwokerto.”Dan yang lebih mengagetkan, dr Anugra mengakui dirinya mengedit semua tulisan Titi sebelum ditayangkan di Kompasiana.
Kedatangan Singgih ke tempat kerja dr Anugra (dan sekaligus tempat kerja Titi) tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tapi mengungkap fakta baru yang sudah diduga banyak Kompasianer sebelumnya. Ternyata selama ini keduanya memang terikat hubungan erat sebagai dokter dan perawat. Di Kompasiana, Titi berperan sebagai penulis, dr Anugra sebagai editor.
Pengakuan dr Anugra bahwa Titi bekerja dengan temannya terbukti hanya isapan jempol. Begitu juga dengan tulisan Titi soal bayi BlackBerry, ternyata tidak terjadi di kliniknya. Titi sudah berbohong, dan kebohongannya diedit oleh dr Anugra. Selanjutnya, kebohongan berita itu ditambah dengan kebohongan baru di tulisan berikutnya yang salah satu paragrafnya berbunyi:“Dan sesungguhnya pagi ini-pun saya sudah dipanggil oleh pimpinan di klinik tempat saya bekerja dan diadakan rapat mendadak dikalangan staf dan mengevaluasi isi tulisan yang saya postingkan itu. Sesuai petunjuk dan arahan dari pimpinanku di klinik tempat saya bekerja, saya di perintahkan membuat tulisan lagi untuk mengklarifikasi dan menjelaskan tujuan awal dari penulisan itu, sungguh tidak ada tujuan untuk membuat HOAX, atau membuka sebuah musibah dari pasien kami, atau sengaja membuka rahasia jabatan kami dibidang pelayanan medis…..”
Lantas apakah peran Titi persis seperti yang disebut oleh dr Anugra? Apakah memang dia penulisnya dan sang dokter editornya? Sayang dua pertanyaan ini tidak bisa terjawab karena Titi tidak boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan Singgih. “Semua (jawaban)nya diambil alih oleh dr Anugra,” jelas Singgih.
Lalu saya bertanya apakah wajah Titi mirip dengan foto di Kompasiana? Dia bilang mirip dengan foto-foto di tulisan berjudul “Apakah Anda Merasa Senang di Tempat Anda Bekerja“. Apakah ada air terjun di belakang kliniknya?
“Enggak ada lah mas. Rumah itu adanya di perkampungan. Air terjun adanya di hutan. Lagi pula, gambar klinik yang diposting Titi tidak sama dengan rumah yang saya datangi tadi pagi,” imbuh Singgih.
Tindakan KompasianaDari berbagai penelusuran yang sudah dilakukan oleh Kompasianer, Kompasiana memutuskan untuk mencabut nama Titi dari daftar Nominator. Perlu diketahui bahwa Titi dinominasikan karena total pembacanya paling banyak. Dan banyaknya jumlah pembaca ini didapat dari tulisan hoax bayi BlackBerry yang faktanya sudah terungkap di atas.
Selain itu, Kompasiana juga dengan terpaksa memblokir akun Titi dengan pertimbangan: Adanya indikasi penyalahgunaan akun oleh pihak lain, adanya indikasi akun ini palsu, dan, yang lebih penting, untuk mencegah adanya aksi penghapusan tulisan oleh Titi seperti yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Demikian cerita panjang ini saya tulis. Semoga menjawab kegelisahan yang selama ini muncul akibat akun Titi dan tulisan-tulisannya.
#trims JET



Baca juga:

No comments:

Post a Comment