Sunday, September 25, 2011

Ketika Emosi (Tak) Berbalas Emosi

Sumber gambar:
school-psychology.com.au
           Perbedaan generasi antara saya dan ibu memperlebar perbedaan pola pengasuhan yang kami anut secara signifikan. Affiq kerap tak cocok dengan ibu saya, mereka berdua memiliki watak sama-sama keras. Saat berumur 3 tahun, Affiq pernah mencoba naik tangga kayu yang disandarkan di tembok luar rumah kami. Ia hendak mengikuti ayah saya yang sedang berada di ujung atas. Ibu saya tergopoh-gopoh keluar rumah, berteriak-teriak dan memarahi ayah sekaligus Affiq. Mendapati reaksi seperti itu, Affiq terus memanjat. Ibu mencubit betisnya sambil terus marah-marah, menyuruhnya segera turun. Affiq akhirnya ‘menyerah’, ia turun sambil menangis keras. Walau cubitan  yang diperolehnya tidak begitu keras, rasa sakit yang nyata ia rasakan adalah dalam hatinya.  Sejak saat itu, Affiq kelihatan anti terhadap beliau.

Saat usianya 6 tahun, Affiq pernah membuat kekacauan di rumah. Suatu ketika tanpa sepengetahuan saya, ia bermain bedak bubuk di kamar ibu saya. Bedak itu dihambur-hamburkannya di lantai. Lalu ia menulis surat yang berisi tulisan “NENEK GILA” dan menyimpannya di situ. Betapa murkanya ibu saya. Ia memarahi Affiq dan saya di depan ibu mertua yang tengah berkunjung, “BERMAIN BEDAK SEPERTI ITU BUKAN KELAKUAN ANAK UMUR ENAM TAHUN. KALAU DIA MASIH BERUMUR DUA TAHUN MASIH PANTAS. SEKARANG TIDAK LAGI!” Kami hanya bisa diam mematung.
Tidak hanya sampai di situ, ibu juga mengatakan, “IA TIRU DARI MANA MODEL SEPERTI INI? TIDAK ADA DI ANTARA ANAK-ANAKKU YANG SEPERTI INI!” Pfuh, sepertinya kata-kata itu ditujukan kepada suami dan ibu mertua saya. Untungnya ibu mertua saya sangat sabar sehingga beliau diam saja mendengar semua itu dan rentetan bom amarah ibu setelahnya. Suami saya pun diam saja, sudah biasa baginya menyaksikan hal ini sehingga ia tahu ‘diam’ adalah sikap yang sangat tepat.
Setelah merasa cukup mendengarkan amarah ibu, saya menarik Affiq ke dalam kamar. Saya marahi ia dengan keras. Saya memilih tidak bersikap lembut dulu padanya karena sudah berulang kali saya beritahu ia supaya tidak menujukan kata “GILA” kepada siapapun, karena tidak ada orang yang senang dikatai seperti itu, setiap orang akan marah jika kata itu ditujukan kepadanya. Affiq diam mendengar kemarahan saya.
Lalu suara saya melunak. Sambil membelainya, saya tekankan kepadanya bahwa yang barusan ia sakiti itu adalah ibu saya, saya tidak menyukai ada orang yang menyakiti ibu saya, dan ia pun pasti tidak suka jika ada yang menyakiti saya. Saya terus menasihati dia dengan suara yang masih lunak. Kemudian, tanpa terasa air mata saya tumpah, saya katakan betapa saya menyayanginya dan kesedihan saya atas sikapnya. Melihat saya menangis, ia tertegun beberapa saat.
Kemudian saya bertanya, “Kenapa Affiq menuliskan itu?”
Ia diam mematung.
Saya mengulangi pertanyaan saya.
Ia menjawab, “Saya tidak suka sama nenek. Nenek suka marah-marah!”
Ada pilu di sudut hati saya. Saya peluk ia dan berbisik, “Affiq bisa bilang atau tulis kalimat ‘Nenek, saya tidak suka nenek karena nenek suka marah-marah’, lebih  baik seperti itu, bukannya menuliskan ‘Nenek Gila’. Jangan lagi lakukan itu ya Nak? Itu salah!”
Ia mengangguk.
Kemudian saya menghela nafas dan mengatakan, “Affiq harus minta maaf sama nenek!”
Ia menolak.
Saya bilang, “Affiq harus mau karena Affiq salah mengatai nenek ‘gila’!”.
Ia diam.
Saya membujuk, akan menemaninya meminta maaf.
Ia masih diam.
Saya lalu menyarankan, “Bagaimana kalau Affiq tulis saja permintaan maafnya? Nanti Mama temani Affiq menghadap nenek.”
Ia bersedia.
Akhirnya ia menuliskan kata-kata permintaan maaf itu. Saya menunggu saat yang tepat untuk memberikan surat itu kepada ibu saya. Sejujurnya, saya takut menghadapi ibu saya. Beliau bukan orang yang bisa memaklumi latar belakang perbuatan Affiq. Bagi beliau itu adalah hal yang sangat salah. Kata-kata yang dilontarkannya sebelumnya, menyiratkan beliau menyalahkan ‘sifat’ Affiq yang seperti itu mengikuti papanya. Diawali membaca do’a nabi Musa, saya menarik Affiq menghadap ibu saya, lalu menuntunnya mencium beliau, dan menyerahkan surat permintaan maaf itu. Jantung saya berdegup kencang. Di wajah ibu yang masih ada gurat kesal, perlahan berubah ketika membaca surat itu. Beliau menasihati Affiq panjang lebar denga suara lunak. Alhamdulillah.
Setelah kejadian itu, saya masih harus sport jantung dua kali lagi. Seperti kejadian terdahulu, ia kembali membuat ibu saya marah besar dan membuat saya harus memaksanya meminta maaf. Terakhir (ya Allah ... mudah-mudahan ini benar-benar yang terakhir kali), pada Ramadhan tahun lalu (saat itu Affiq berusia 9 tahun). Pada suatu siang ia menyetel TV ke saluran yang menayangkan acara yang disenanginya kemudian ia meninggalkan televisi dan masuk ke kamarnya sehingga ayah mengganti saluran TV untuk menonton siaran yang diinginkannya. Tiba-tiba Affiq muncul dan marah-marah di situ, ia membentak ayah dan ibu yang sedang duduk menonton.
Karena hal itu, ibu saya memarah-marahi saya di dapur. Ya Allah, jantung saya serasa mau jatuh ke lantai! Selesai ibu memarahi, saya panggil Affiq dan menariknya masuk ke dalam kamar. Saya lalu memarahinya dengan keras karena kesalahannya sangat jelas sejelas terang matahari siang itu, setelah itu baru saya menasihatinya dengan suara lunak tetapi tegas. “Mama malu sama Nenek dan Kakek. Mereka mungkin mengira Mama tak pernah mengajari Affiq padahal ‘kan Mama tidak pernah mengajari Affiq untuk berlaku seperti itu,” kata saya lagi. Saya mengharuskan ia meminta maaf setelah buka puasa. Saya berharap, setelah buka  puasa nanti hati  ibu saya sudah melunak. Kali ini ia harus melakukannya sendiri karena saya tak mau menemaninya. Kalau ia tak mau minta maaf, ia tak akan saya perbolehkan bermain game komputer.
Bukannya menunggu sore, Affiq malah menawar: langsung meminta maaf saat itu juga. Kali ini ia memperalat adiknya (ia sudah sering menggunakan adiknya untuk mendapatkan keinginannya), ia menyuruh Athifah mendatangi ibu saya untuk mengatakan kehendaknya.
Athifah melakukannya. Ia melapor, “Nenek, kakak Affiq mau minta maaf.”
Ibu saya menjawab, “Suruh Affiq sendiri yang datang ke sini!”
Sebagai kurir yang amanah, Athifah menyampaikannya kepada Affiq, “Kakak, minta maaf sendiri sama nenek.”
Sendirian, tanpa ditemani siapapun, Affiq mendatangi ibu saya. Ia mendekati beliau dan meminta maaf. Alhamdulillah, walaupun saat itu belum berbuka puasa, hati ibu saya sudah melunak, mungkin karena sudah menumpahkan kekesalannya kepada saya sebelumnya. Beliau memaafkan Affiq dan memberikan petuah-petuah kepadanya. Affiq tersenyum lega. Entah karena dimaafkan oleh neneknya atau karena terhindar dari hukuman.
Setelah itu, masih ada konflik-konflik kecil antara ibu saya dengan Affiq. Namun Affiq kelihatannya sekarang lebih memahami neneknya. Di mata ibu saya, selalu ada kesalahan yang terjadi di dalam rumah, entah itu dari saya, penghuni rumah lainnya, ataupun dari Affiq walau pada kenyataan yang sebenarnya tak ada kesalahan sama sekali.
Jika Affiq memang tak melakukan kesalahan apa-apa tetapi dimarahi oleh beliau, saya diam dulu menunggu ibu selesai marah-marah karena tak ada gunanya mengatakan satu kata pun – hanya akan memperkeruh keadaan. Setelah beliau berlalu baru saya dekati Affiq dan membelai-belai kepalanya. Saya membesarkan hatinya, mencoba membuatnya merasakan bahwa saya mempercayainya, dan memintanya untuk bersikap lebih sabar kepada neneknya.
Ada kalanya saya harus ‘membela’ Affiq seperti suatu ketika saat Affiq sedang menikmati kegiatan menyeterika pakaian-pakaian kepunyaannya dan adik-adiknya. Sudah tiga kali sebelumnya ia membantu saya menyeterika. Saya membiarkannya walaupun hasilnya tidak begitu rapi. Bagi saya kerapian bukanlah hal yang penting. Ia mau membantu saja, saya sudah sangat bersyukur dan berterimakasih padanya.
Saat ibu saya melihat aktivitas Affiq, tak ada angin tak ada hujan, beliau langsung ngomel-ngomel, menuduh Affiq hanya sedang bermain-main dengan seterika. Affiq diam saja. Wajahnya yang semula ceria menjadi cemberut. Saya membelanya, “Affiq lagi menyeterika, Bu. Ia tidak sedang bermain!” Ibu tetap mengomel, tidak peduli dengan penjelasan saya. Saya menghela nafas panjang. Untung omelan ibu tidak berlangsung lama, setelah itu beliau meninggalkan ruangan itu. Untung pula Affiq masih diam, ia tak mengatakan sepatah kata pun, masih tetap menyeterika dengan wajah cemberut.
Kini usia Affiq sudah sepuluh tahun. Kelihatannya ia lebih mengerti keadaan ibu saya. Namanya anak-anak, sesekali ia masih mengeluarkan lontaran tidak senang terhadap sikap beliau. Saya masih harus selalu ‘meluruskan’ sikapnya karena tak mungkin meminta ibu saya untuk melunak, kamilah yang harus mengikuti ‘alur’ beliau, dan itu bukan hal yang mudah bagi kami. Meskipun demikian Affiq tahu bahwa sesungguhnya neneknya sayang padanya karena sesekali ia diberi hadiah oleh beliau. Dan yang paling penting, ia tahu bahwa ia bisa mempercayai kami – bahwa kami bisa menilainya secara proporsional, tentang kapan ia melakukan kesalahan sehingga harus ditegur/dimarahi, dan kapan ia melakukan sesuatu yang baik sehingga ia layak dipuji/diberi hadiah.
Makassar, 23 September 2011

No comments:

Post a Comment