Sunday, September 25, 2011

Pendidikan Akhlak, Pengasuhan yang Penuh Pertimbangan

Nabi Muhammad, Pengajar “Pendidikan Akhlak” Terdahulu

Nabi Muhammad saw. (571 – 633) adalah orang yang lemah lembut, murah hati, mampu menguasai diri, suka memaafkan saat memegang kekuasaan, dan sabar saat ditekan. Beliau memiliki keberanian, patriotisme, dan kekuatan yang sulit diukur. Beliau sangat adil, sangat jujur perkataannya, dan sangat besar amanahnya. Orang yang mendebat dan bahkan musuh beliau mengakui hal ini. Sebelum masa kenabian, beliau dijuluki “Al – Amin” (terpercaya). Abu Jahal bahkan pernah berkata, “Kami tidak mendustakan dirimu, tetapi mendustakan apa yang Engkau bawa.” Ini menunjukkan betapa terpercayanya beliau sehingga walaupun orang kafir Quraisy mengingkari ajaran Islam yang beliau bawa, mereka tidak mengingkari akhlak terpuji beliau.

Beliau sangat tawadhu’, tidak menginginkan orang-orang berdiri saat menyambut kedatangannya seperti yang penyambutan terhadap para raja. Beliau biasa menjenguk orang sakit, duduk bersama orang miskin dan menghadiri jenazah mereka, memenuhi undangan para budak, duduk di tengah para sahabat, sama seperti keadaan mereka. Beliau mencuci pakaiannya, memerah air susu dombanya, dan membereskan urusannya sendiri. Beliau sangat memenuhi janji, menyambung tali persaudaraan, sangat bagus pergaulannya, tidak pernah berbuat (dan menganjurkan) kekejian, bukan termasuk orang yang suka mengumpat dan mengutuk, tidak membalas keburukan yang ditujukan kepadanya, tidak membiarkan seseorang berjalan di belakangnya, tidak mengungguli budaknya dan pembantunya dalam masalah makan dan pakaian, tidak pernah membentak pembantunya, dan tidak menegur perbuatan pembantunya yang tidak beres[1].
Sifat-sifat di atas yang sejatinya harus diteladani oleh umat Islam hanya sebagian kecil dari gambaran kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat beliau.

Pendidikan Akhlak Adalah Tanggung Jawab Orangtua

Sangat ditekankan di dalam Islam, adalah tanggung jawab orangtua dalam mendidik akhlak anaknya, sebagaimana dalam QS. Lukman (31) ayat 17, yang artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat, biasakanlah mengerjakan yang  baik, cegahlah perbuatan yang buruk, dan bersabarlah  (berhati teguhlah) menghadapi apa yang menimpa engkau, sesungguhnya (sikap) yang demikian itu termasuk perintah yang sungguh-sungguh.”
Ada hadits mencontohkan hal ini: Dari Abu Hafsh ‘Umar bin Abu Salamah, anak tiri Rasulullah saw., ia berkata: Sewaktu saya dan anak-anak dulu tinggal di bawah asuhan Rasulullah saw. dan pada saat itu tanganku meraih (makanan) dalam baki besar, Rasulullah saw. berkata kepadaku: “Wahai bocah, sebutlah nama Allah ta’ala, makanlah dengan tangan kananmu dan ambillah yang ada di depanmu.” Lalu selanjutnya begitulah caraku makan. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjelaskan bahwa ketika anak tirinya berbuat keliru, dengan spontan Rasulullah menegurnya dan sekaligus membetulkannya[2].
Di sinilah seringkali kesalahan besar orangtua bermuara. Anak-anak seringkali ‘dimaklumi’ jika berbuat kesalahan, misalnya saat seorang anak balita yang ceria secara tiba-tiba menampar teman bermainnya,  ditanggapi dengan tawa geli orang dewasa yang melihatnya termasuk orangtuanya sendiri karena merasa tengah menyaksikan atraksi lucu. Padahal meskipun dilakukan sembari bermain, tindakan itu salah dan harus segera diluruskan. Justru karena ia masih sangat kecil, adalah saat yang tepat mengajarkannya tentang mana yang benar dan mana yang salah.

Orangtua Ikut Andil dalam Membesarkan Sesosok “Monster”

Seorang anak yang melihat tawa orang dewasa menanggapi perbuatannya tentu saja akan berpikir tindakannya tersebut disenangi, dan adalah suatu kewajaran ia juga merasa senang karena telah menyenangkan orang lain. Maka masuk akal jika ia akan terus mengulangi perbuatan ‘menyenangkan’ tersebut. Padahal hal ini sama sekali tidak lagi menyenangkan jika ia tetap saja senang melakukannya lima atau sepuluh tahun mendatang. Seharusnya orangtua sesegera mungkin menyadari hal ini: semakin besar anak, kebiasaan yang tidak baik akan semakin sulit dilarang.
Ada kisah nyata, seorang anak yang tega mengusir orangtuanya dari rumahnya sendiri. Orangtuanya pun pasrah saja, keluar dari rumahnya. Sudah barang tentu bukan hal yang mudah bagi orangtua tersebut menanggulangi perbuatan anaknya yang telah  berubah menjadi ‘monster raksasa’. Ada andil orangtua dalam hal ini karena sejak kecil, apapun kemauan anaknya selalu dituruti. Orangtua tak pernah menolak kemauan sang anak, hanya karena alasan ‘kasih sayang’ dan karena ia anak semata wayang.
Ada kisah nyata, mereka yang terbiasa dituruti keinginannya tak berhenti berbuat semaunya kepada orangtua mereka. Kebiasaan ‘merengek’ sejak bayi yang menjadi senjata selalu saja digunakan untuk meluluhkan hati orangtua. Ada yang memaksa menikah padahal tidak punya tabungan sama sekali sehingga membuat orangtua dan saudara-saudara mereka banting tulang memenuhinya sementara yang bersangkutan sama sekali tidak merasa bersalah telah memberatkan orang-orang yang mengasihinya. Ada pula yang terbiasa membentak jika perasaannya sedang tak enak. Ia tak peduli kepada siapa ia membentak bahkan kepada ibu kandungnya sendiri. Ibunya hanya bisa istighfar dan menjauh ketika itu terjadi. Sikap diam diambilnya karena khawatir jika balik marah, anaknya akan menjadi durhaka.
Banyak contoh di sekeliling kita yang akan mengeringkan semua tinta di dunia ini menuliskannya. Seringkali para orangtua menganggap hal-hal ‘remeh’ bisa mereka tolerir karena kasih sayang mereka kepada anak. Padahal perlakuan ‘menolerir’ itu secara perlahan akan membentuk karakter ‘monster’ dalam diri anak-anak mereka. Karakter yang suatu saat di masa depan akan menjadi bom waktu sekaligus senjata makan tuan yang akan menyakiti dan merugikan orangtua. Sementara si anak sendiri kebal dengan perasaan bersalah karena ia menganggap tanggung jawab orangtuanyalah untuk memenuhi segala keinginannya atau untuk menerima segala kelakuannya yang menurutnya ‘wajar-wajar’ saja sampai kapan pun. Itu resiko di dunia. Bagaimana di akhirat nanti ketika semua hal yang ada di bawah tanggungan kita harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik? Pembelaan apa yang akan kita katakan kepada-Nya?

Pengasuhan yang Penuh Pertimbangan

Ada bayi berusia enam bulan yang memiliki kebiasaan menampar pipi orang yang menggendongnya. Orang-orang dewasa di sekelilingnya tertawa senang jika sang bayi melakukan hal itu. Suatu saat, seorang nanny (pengasuh) kondang mengoreksi hal ini. Ia menepis dengan halus tangan si bayi setiap kali hendak menampar wajahnya. Nanny itu tidak membenarkan perilaku tersebut – meski dilakukan oleh hanya seorang bayi karena kebiasaan yang berkelanjutan akan berdampak tidak baik di masa mendatang[3].
“Jadilah orangtua yang penuh pertimbangan” adalah sebuah ide yang digagas oleh seorang profesor psikologi dari Temple University, Amerika Serikat. Orangtua yang penuh pertimbangan mempraktekkan pola pengasuhan “penuh pertimbangan”. Pengasuhan “penuh pertimbangan” adalah pengasuhan yang memiliki tujuan tertentu, yaitu akibat dari tindakan orangtua kepada anak telah dipertimbangkan oleh orangtua, bukan merupakan suatu kebetulan [4].
Kebanyakan orangtua tidak menyadari, mereka menjalankan peran mereka sebagai orangtua dengan membiarkannya mengalir begitu saja, mengikuti bagaimana orangtua mereka ataupun orangtua-orangtua lain menjalankan peran. Tidak salah mencontoh hal-hal baik yang dimiliki orang lain dalam pengasuhan anak-anak mereka. Namun sebaiknya orangtua memiliki pola pengasuhan yang khas mengingat anak-anak mereka unik dan mengingat sekecil apapun perlakuan orangtua kepada anak, tetapi karena itu dilakukan secara intens dapat membentuk karakter anak di kemudian hari.
Bukan hendak mengatakan saya dan suami saya sempurna dalam menjalankan peran kami sebagai orangtua – sebagai manusia biasa kami memiliki banyak kekurangan, dalam hal ini saya hanya ingin berbagi cerita mengenai sulung saya Affiq yang sekarang berusia 10 tahun. Kami menyadari Affiq memiliki sifat bawaan yang keras. Ini ditunjukkan sejak ia masih sangat kecil, saat menginginkan sesuatu. Jika ia menginginkan A, tak bisa ditawar menjadi B. Suatu perjuangan berat jika mencoba mengganti pilihannya.
Saat ia masih berusia 3 tahun, kami bertiga ke toko buku. Di situ ia tertarik dengan mainan edukasi berbahan kayu yang sebenarnya sudah sangat mahir ia mainkan sehingga sama sekali tak ada gunanya ia miliki. Ia meminta mainan itu. Kami menawar dengan buku cerita anak-anak. Ia menolak. Dengan bujukan, ia akhirnya mau melihat dan memilih buku yang kami maksud.
Tak disangka saat kami berjalan menuju kasir, matanya tertumbuk lagi pada mainan kayu itu. Ia mendekati lemari tempat memajangnya lalu mulai merengek. Usaha kami membujuknya sia-sia. Ia tetap minta dibelikan. Bukan hanya merengek, ia berguling-guling di lantai dan menangis. Kalau hanya untuk menghapus rasa malu mungkin mainan itu sudah kami belikan. Tetapi kami tidak melakukannya. Kami menahan rasa malu yang memuncak pada tatapan mata orang-orang. Suami saya membopong Affiq keluar, mendudukkannya di atas motor. Saya menahan dirinya yang masih mengamuk, sembari kami naik ke atas motor. Kami berkendara di bawah terik matahari, ditingkahi Affiq yang tak mau dipakaikan topi karena masih tetap mempertahankan amukannya.
Karena masih ada keperluan lain, kami masih harus ke suatu tempat yang jaraknya sekitar 6 km dari toko buku. Sepanjang jalan menuju ke sana, Affiq berontak. Sampai di tujuan, ia tak mau masuk. Kali ini sambil menangis ia duduk di tengah jalan di depan rumah, untung jalan selebar gang itu tidak ramai. Segala bujuk-rayu kami dan orang-orang di situ ditampiknya. Setelah urusan selesai, kami pun berkendara sejauh  3 km menuju pulang, masih dengan Affiq yang meraung.
Sampai di rumah, ia masih saja menangis. Sedikit air untuk membasahi tenggorokan ditolaknya, termasuk sebotol susu kesukaannya padahal sejak tadi ia belum minum. Seperti sebelumnya, segala bujuk-rayu tak mempan. Akhirnya saya mengeluarkan ‘jurus’ pamungkas: membaca surah Yasin sebanyak 3 kali yang membuat Affiq diam, lalu tertidur selama 5 menit. Setelah itu ia bangun dengan segar, seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Dengan riang ia minta susunya dan memulai aktifitasnya dengan energi baru seolah habis di-charge padahal hampir 2 jam lamanya ia mengamuk.
Lama-kelamaan Affiq mengerti bahwa tidak semua keinginannya bisa dituruti. Ia yang dahulu senang mencoba menggeser ‘batas kekuasaan’ kami agar menjadi lebih sempit bagi kami dan lebih lebar baginya, kini sudah mengerti bahwa ada batas otoritas kami sebagai orangtua yang tak boleh ia langgar. Namanya anak-anak, sesekali ia masih mengetes kami. Sepertinya ia beranggapan tidak ada ruginya mencoba, barangkali kami mengalah. Tetapi jika kami konsisten, ia mampu menerima takdirnya.
Bukan hanya Affiq yang belajar. Kami sebagai orangtuanya pun belajar bahwa semuanya butuh proses. Reaksi kami sebagai orangtua sudah seharusnya selalu dipertimbangkan, begitu pun dalam menolerir perilakunya. Seremeh apapun itu, jika reaksi yang sama diperlihatkan kepada anak berulang kali, ia akan ‘belajar’ memperlakukan kami dengan batas-batas yang kami pasang, bukan dengan batas-batas yang ia pasang. Sudah tentu sebelumnya kami harus mempertimbangkan akibat dari batasan itu baginya ke depannya. Hal ini jauh lebih mudah diprediksi ending-nya ketimbang menyerah kepada batasan yang ditetapkannya. Batasan anak tentu tak bisa diprediksi oleh orangtua bagaimana ending-nya padahal itu bisa saja menjadi akhir mengerikan seperti contoh-contoh di atas karena sang anak telah berubah menjadi sesosok monster!
Makassar, 9 September 2011


[1] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah”, Pustaka Al-Kautsar, 2000.
[2] Drs. M. Thalib, “40 Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak”, Irsyad Baitus Salam, 1995.
[3] Deborah Carol, Stella Reid bersama Karen Moline, “Nanny 911”, Mizan, 2008.
[4] Laurence Steinberg, Ph.D. (profesor psikologi dari Temple University AS), “10 prinsip Pengasuhan yang Prima – Agar Anda Tidak Menjadi Orangtua yang Gagal”, Kaifa, 2005.

No comments:

Post a Comment