Andika - salah seorang penghuni panti |
Lanjutan dari tulisan sebelumnya ...
(Kopdar IIDN - di Rumahku)
Teman-teman setuju berjalan kaki menuju panti asuhan Annur yang terletak dekat kanal Rappocini. Panti asuhan itu hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah. Titik-titik air hujan menemani langkah kami di bawah naungan payung-payung reyot. Payung-payung di rumah nyaris tak ada yang beres karena terlalu sering dipakai bermain kemah-kemahan sejak Affiq belum memiliki adik. Dari 7 payung, hanya satu yang anatominya masih bagus.
(Kopdar IIDN - di Rumahku)
Sebuah becak yang mengangkut aneka barang sudah berangkat duluan ke panti. Sempat terbersit ketakutan si pengayuh membelokkan becaknya entah ke mana karena ia mengemudi begitu cepat meninggalkan kami. Ayu, Icha, dan Uty yang berada lima meter di depan menunjuk arah yang dituju becak itu. “Sepertinya lurus,” kata Uty. “Belok kiri,” kata saya. Memang bisa lurus ke depan tetapi itu hanya memperpanjang waktu tempuh karena jalan yang diambil jadi memutar.
Untungnya pengemudi berkaus kuning itu akhirnya terlihat juga. Ia menunggu kami di depan tempat yang dituju sambil memasukkan barang-barang itu ke dalam panti.
Panti asuhan ANNUR. Saya sudah pernah menuliskan tentangnya di blog ini, pada tulisan berjudul Mendulang Amal Melalui 63 Orang Anak. Saya sudah pernah ke sini, jadi saya langsung mencari ibu Hj. Mari - pendiri sekaligus pengelolanya, karena sudah pernah bertemu sebelumnya.
Papan yang memuat data para penghuni panti |
“Ada Haji?” tanya saya pada seorang pengurus.
“Keluar ki,” jawabnya, sambil mempersilakan kami duduk di kursi usang yang berderet di situ.
“Kalau anaknya?”
“Keluar juga.”
Ya sudah. Tanpa mereka pun tak apa. Maka kami berbincang dengannya mengenai keadaan panti yang menampung 63 orang anak itu. Di antara mereka ada 9 anak yang belum sekolah, 20-an duduk di bangku SMP. Ada juga yang duduk di bangku SD dan SMA.
Status mereka, ada yang yatim, piatu, yatim-piatu, dan tidak mampu. Ayu sempat berbincang dengan seorang gadis yang masih duduk di bangku SMP. Ia berasal dari Majene (Sulawesi Barat) dan masih punya orangtua. Kemungkinan orangtuanya tak sanggup menyekolahkannya.
Andika berkaus tangan agar kukunya tak melukai dirinya |
“Mana Andika?” saya menanyakan seorang anak usia 8 tahun. Ia penyandang disabilitas. Matanya sudah tak berfungsi dengan baik, ia lumpuh, dan tak mampu berbicara layaknya anak normal. Ia hanya bisa bereaksi seperti bayi, menangis, tertawa, atau diam.
Pengurus panti itu masuk ke dalam sebuah kamar dan menggendong Andika. Ia memangku Andika sambil berbincang dengan kami. Sepertinya Andika mengerti sedang dijenguk, ia sering sekali tertawa, bahkan sampai terkekeh-kekeh.
Tak lama kemudian ibu Hj. Mari datang. Ia menyalami kami. “Baru-baru ini Andika tiga kali masuk rumah sakit,” katanya. Hj. Mari tak segan membawa Andika ke rumah sakit untuk berobat walau harus diopname sekalipun. Kasih sayangnya kepada Andika begitu tulus, jauh melampaui kasih sayang keluarga kandung anak berhidung mancung lagi berkulit putih bersih itu.
Menyimak penuturan pengurus panti |
“Dulu di mata Andika hanya ada sedikit bintik putih,” ujar Hj. Mari. “Saya bawa ke rumah sakit. Dokter yang menangani mengatakan ia bisa mengoperasinya. Setelah operasi dan kami pulang ke rumah malah tambah parah. Sepertinya dokternya bukan dokter spesialis,” kata Hj. Mari.
Cacat pada mata Andika tambah menjadi setelah beberapa lama ia keluar dari rumah sakit. Sekarang nyaris semua bidang di matanya seperti tertutup selaput. Sesekali kami melirik Andika. Sepertinya teman-teman sedang merasakan hal yang sama dengan saya, terharu dan terenyuh melihatnya. Ia tampak bahagia. Suara tawanya sering sekali terdengar.
Kami meminta izin untuk melihat-lihat kamar anak-anak panti. Haji Mari mempersilakan kami naik ke lantai atas panti yang berdinding dan beralaskan lantai papan.
Seperti inilah sebuah kamar di lantai atas Sumber gambar: hasil jepretan Marisa (Icha) |
Melalui tangga kayu yang cukup curam, aroma apek tercium dengan jelas. Sirkulasi udara di situ tidak begitu bagus. Di atas ada 5 kamar tidur, tempat anak-anak itu beristirahat. Selasar yang mengantarai kamar-kamar yang berhadap-hadapan itu tampak gelap karena cahaya matahari tak masuk ke dalamnya. Hanya ada sedikit cahaya matahari yang menerobos ke dalam tiap kamar. Suatu hari nanti jika dana memadai, haji Mari pasti akan merenovasi lantai ini.
Dengan ketulusannya yang bersahaja haji Mari berani menampung sebanyak itu anak-anak orang lain di rumahnya, mengurus mereka, mengusahakan mereka menempuh jenjang pendidikan formal hingga SMA, dan merawat mereka jika sakit selayaknya ibu kandung sendiri.
Hal berat ini dijalaninya tanpa beban. Hanya berdasarkan keyakinan bahwa Allah SWT akan membukakannya jalan. Pembaca, mari kita do’akan ia supaya senantiasa diberi kesehatan dan keridhaan oleh Allah SWT dan segala yang dilakukannya membukakan jalan ke surga-NYA. Aamiin yaa Rabb.
Ibu Hj. Dg. Mari |
Makassar, 8 Maret 2012
Sehari setelah kopdar, Nunu mempublikasikan tulisan Mendulang Amal Melalui 63 Orang Anak ke beberapa grup FB. Alhamdulillah ada seorang dermawan yang langung tanggap dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening ibu haji Mari guna dibelikan kursi roda bagi Andika. Supaya ia tak perlu lagi digendong ke sana ke mari oleh ibu haji. Alhamdulillah. Semoga Allah meridhaimu, dermawan yang baik hati.
Jika Anda ingin berpartisipasi dengan menyumbangkan sebagian rezeki Anda kepada Panti Asuhan An-Nur ini, donasi Anda dapat ditransfer ke nomor rekening berikut:
0082854865, BNI cabang Mattoangin, atas nama Hj. Dg. Mari
0050-01-053078-50-8, BRI Ahmad Yani, atas nama panti asuhan An-Nur
Silakan dibaca juga yang berikut:
No comments:
Post a Comment