Salah satu buku koleksi saya saat hamil si sulung |
Menggembirakan dan menakjubkan karena pada awalnya saya dan suami sama-sama tidak subur (kisahnya bisa dibaca di sini). Meskipun menjalani aneka tips cara cepat hamil, saya baru bisa hamil setelah usia pernikahan kami setahun, justru setelah meninggalkan cara medis dan berkonsentrasi pada pengobatan alternatif.
Misterius, karena ini pengalaman luar biasa pertama bagi saya. Saat mengetahui ada janin bercokol dalam rahim saya, kami rajin mencari tahu aneka informasi seputar kehamilan, menyusui, mengurus, dan mendidik anak.
Saya dan suami bukan orang-orang yang semata-mata mengikuti pola orangtua kami dalam berkeluarga, termasuk dalam menyikapi kehamilan. Wejangan dari orangtua seringkali merupakan mitos dan larangan yang tak berdasar. Bukannya kami tak mengambil yang positif, hal yang positif tetap kami tiru.
Seperti yang pernah saya tulis dalam Solitaire dan Sendiri misalnya, ibu saya pernah mengatakan, “Tak boleh berhubungan suami istri selama tiga bulan pertama kehamilan.” Nah, kalau kami tak banyak belajar, tentu kami langsung menjalani ‘nasihat’ ini. Padahal, nasihat orangtua tak selamanya berdasar, bukan?
Mungkin saja dahulu nasihat itu berbunyi, “Jangan berhubungan suami-istri jika kandungan istri lemah, selama ia masih hamil muda.” Maksudnya hamil muda itu selama 3 bulan pertama, karena bisa jadi aktivitas itu bisa menyebabkan kandungan bertambah lemah. Namun namanya juga pesan berantai yang setelah melanglang buana, pesan itu menjadi terpotong-potong dan kehilangan esensinya. Akhirnya menjadi “Harus begini” atau “Harus begitu” saja, tanpa penjelasan logis (apalagi dalil agamanya).
Menarik sekali menyimak perkembangan janin dari minggu ke minggu dari berbagi sumber. Saya jadi mengetahui perubahan yang terjadi di dalam rahim dan dalam tubuh saya. Dan tentu saja saya juga jadi tahu perkembangan janin itu sendiri. Menyenangkan sekali mengetahui bagaimana ia terbentuk hanya dari dua sel (ovum dan sperma) yang bersatu, menjadi segumpal daging hingga menjadi makhluk bernyawa yang terus berkembang hingga saat kelahiran tiba. Hal itu membuat rasa syukur semakin besar kepada Sang Pencipta – Allah Yang Maha Agung.
Alhamdulillah, kehamilan pertama saya tidak bermasalah di awalnya. Saya mengalami sakit ulu hati, mual-mual, dan beberapa kali muntah ringan. Alhamdulillah teratasi. Walau hanya tinggal berdua, saya berusaha untuk tidak sakit. Segala ketidaknyamanan saya lawan sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik kepada janin di dalam rahim.
Saya tak menolerir alasan ‘tak bisa makan’ karena ‘tak ada nafsu makan’. Sungguh, itu alasan yang bisa dilawan. Konyol rasanya membiarkan alasan itu mengendalikan diri kita. Yang aneh, kebiasaan ngemil saya hilang. Saya kemudian jadi suka sekali makan nasi. Dalam sehari saya bisa makan nasi hingga 7 kali! J Tak heran, menjelang persalinan berat badan saya meningkat drastis dari 46 kg menjadi 64 kg he he he.
Mungkin karena itu, masih dalam usia kehamilan 6 bulan, kedua kaki saya bengkak. Biasanya orang mengalami bengkak seperti ini menjelang persalinan. Tetapi saya mengalaminya jauh sebelum itu. Saya menjadi sulit berjalan, badan terasa amat berat. Dokter menyuruh mengurangi konsumsi garam. Dan saat duduk atau rebahan, kaki diangkat lebih tinggi dari badan selama sekitar 10 menit.
Tetapi hal ini tak menggoyahkan semangat saya dalam berburu perlengkapan bayi. Meski kaki bengkak, saya dengan ditemani suami rela naik angkot ke pusat kota yang jaraknya sekitar 6 km untuk mencari perlengkapan bayi. Sebelumnya, saya telah mengumpulkan informasi dari teman-teman dan dari berbagai buku juga majalah mengenai apa saja yang harus dipersiapkan menjelang kelahiran bayi, lengkap dengan bagaimana cara melipat popok kain tetra ukuran bujursangkar.
Semuanya sudah siap di usia kehamilan memasuki 8 bulan. Kami perantau, jadi semuanya harus dipersiapkan sendiri. Termasuk kemungkinan melahirkan prematur. Supaya kalau hal ini terjadi, tak perlu kalang-kabut lagi menyiapkan perlengkapan bayi. Oya, nama bayi pun sudah kami siapkan.
Beberapa perlengkapan Affiq yang masih bertahan hingga kini, usia barang-barang ini sudah hampir 11 tahun ^__^ |
Walau sudah ‘mengintip’ jenis kelamin si jabang bayi saat USG, kami menyiapkan 2 nama – untuk bayi laki-laki dan perempuan. USG kan bukan harga mati, bisa saja ada kesalahan dalam pembacaannya. Suami saya senantiasa mendukung apa yang saya lakukan selama hamil. Pengetahuan mengenai kehamilan bukan hanya milik saya, juga menjadi miliknya karena ia pun selalu mencari tahu mengenai kehamilan.
Saya mengikuti program senam hamil di rumah sakit perusahaan. Senam hamil perlu juga agar proses kehamilan berlangsung mudah. Ada bidan senior yang memandu di situ yang senantiasa memberikan pengetahuan seputar kehamilan, melahirkan, menyusui, dan memandikan bayi.
Alhamdulillah, tak ada ngidam yang aneh-aneh di kehamilan pertama ini. Masalah keinginan, normal-normal saja. Hanya masalah bengkak di kaki itu yang terus saya alami hingga menjelang persalinan, juga pertambahan berat badan yang pesat: 2 kg setiap bulan! Dokter menyuruh saya untuk lebih banyak makan buah daripada nasi supaya pertambahan berat badan tidak terlalu besar.
Batas 40 minggu kehamilan terlewati. Saya semakin payah dalam berjalan. Cara saya berjalan persis Tele Tubbies (begitu kata Uyi – adik laki-laki saya yang kala itu masih mahasiswa. Ia berkunjung ke tempat saya bersama ibu, ibu mertua dan ipar untuk menanti proses persalinan). Kontraksi tak teratur sering terasa. Rasanya seperti ada yang mau keluar saja di jalan lahir. Tetapi tanda-tanda persalinan belum juga terasa.
Akhirnya saya harus menjalani induksi di minggu ke-42, seperti yang dikatakan dokter. Malam sebelum waktu yang ditentukan untuk induksi, tiba-tiba saja saya batuk-batuk hebat, tenggorokan saya terasa sangat gatal. Padahal tidak ada hal-hal yang bisa memicu saya untuk batuk-batuk. Saya tak suka minum minuman dingin juga tak terpapar udara dingin. Segala sesuatunya berjalan normal, seperti biasa. Ujian. Ya, batuk-batuk itu ujian dari Allah. Esoknya, batuk itu berhenti dengan sendirinya.
Malam itu saya nyaris tak bisa tidur padahal saya butuh istirahat untuk menjalani proses induksi keesokan harinya. Paginya, suami mengantar saya ke rumah sakit. Di rumah sakit, saya diobervasi. Peralatan listrik untuk observasi kontraksi dan detak jantung bayi ditempelkan di perut. Saya tak mengalami kontraksi yang berarti meski sudah distimulasi secara fisik berkali-kali. Jika ini berhasil, saya tak perlu diinduksi.
Salah satu koleksi saya saat hamil Affiq |
Menjelang duhur, saya disuruh istirahat setelah sebelumnya diberikan pil induksi (saya lupa sebanyak ½ atau ¼ butir, yang jelas bukan 1 butir). Tekanan darah saya naik, mungkin efek tak bisa tidur malam sebelumnya dan tegang menghadapi persalinan. Saya harus dioperasi jika tekanan darah saya tak kunjung turun.
Menjelang ashar, tiba-tiba saja terasa kontraksi yang amat kuat dalam rahim saya. Lalu air ketuban mengalir dengan deras. Saya memberitahu bidan yang bertugas. Bidan menyuruh saya mandi dan menuju ruang bersalin.
Ternyata, bayi yang kemudian kami beri nama Muhammad Affiq Solihin itu akhirnya harus diinduksi karena ada lilitan tali pusar di lehernya sebanyak tiga kali. Sampai-sampai mencekiknya, menyebabkan ia tak bisa mencapai jalan lahir sendiri. Alhamdulillah ia lahir dengan selamat lepas isya walau sempat ‘terjebak’ di jalan lahir selama satu jam dan sempat meminum air ketuban yang sudah keruh. Here he is ... our beloved Affiq, siap mewarnai dunia J
Makassar, 11 Maret 2012
Dibaca juga ya ... J
No comments:
Post a Comment