Wednesday, February 29, 2012

Pengemis, Sebuah Profesi?

Pengemis beroda
di sebuah ruas jalan
Beberapa tahun terakhir ini Makassar disemarakkan lagi oleh pengemis. Tengok saja taman segitiga di penghujung jalan Sultan Hasanuddin, berjejer mereka duduk di pinggir taman – di tepi jalan, menunggu belas kasihan.

Ada masanya beberapa ruas jalan diwarnai dengan pengemis buntung beroda. Mereka menyatroni ruas jalan, dengan menggelindingkan roda-roda dari sebidang kayu yang dijadikan tempat duduk mereka. Beberapa bulan yang lalu saya melihat beberapa orang di sepanjang jalan H. Achmad Saleh (jalan ini sejajar dengan jalan Haji Bau, tegak lurus dengan jalan La Madukelleng).

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan meneruskan SMS yang diterimanya kepada saya: Anak jalanan, bayi – 5 tahun disuruh ngemis. Mak-maknya nggosip sambil main hape. Duh, mereka mungkin merasa sedang mengerjakan sebuah profesi ya.

Ada lagi lanjutan SMS-nya: di deket mal Panakukang serem banget, anak umur 5 tahun gendong adeknya yang baru berumur bulanan. Kurus kering, rambut merah sementara emaknya gemuk-gemuk, dandanan menor – badan item muka putih. Anaknya menangis di antara mobil-mobil. Emaknya ndatangin, tidak menolong malah mencubit.

Untuk SMS yang terakhir itu, saya lupa menanyakan apa anak-anak itu mengemis juga. Yang jelas kontras, anak dan ibu (hm, sebenarnya apa iya itu anaknya?) berpenampilan bagaikan langit dan bumi. Yang jelas ini sama-sama memprihatinkan.

Kembali ke soal pengemis itu lagi.
Menurut saya kompleks. Apakah pemerintah harus disalahkan dalam hal ini? Entahlah. Rasanya koq capek ya setiap saat menyalahkan pemerintah. Soalnya ada orang-orang yang betah mengemis karena mudah. Tinggal menengadahkan tangan sambil memelas-melaskan wajah maka uang akan berpindah tempat, dari kantong orang yang menaruh iba ke tangan mereka.

Ada pengalaman seorang teman saya. Ia susah sekali mencari asisten rumahtangga. Suatu kali ada pengemis – ibu-ibu mengetuk pintu rumahnya. Ia memberikan sekemampuannya. Kemudian ia bertanya kepada ibu itu, “Mau tidak Bu kerja di sini? Nanti Saya gaji. Daripada  ibu minta-minta.”
Coba tebak, apa jawaban ibu itu? Tepat, menolak. Rupanya ia lebih suka mengemis.

Seorang pengemis di sebuah taman kota
Sudah pernah ditayangkan di TV trik-trik pengemis supaya kelihatan berkaki buntung. Atau trik-trik lain, seperti mengambil anak-anak jalanan kemudian dibawa mengemis. Saya pun pernah mendengar anak-anak jalanan diorganisir, diturunkan di sebuah persimpangan dengan mobil di pagi hari lalu mobil itu pergi dan datang kembali untuk menjemput mereka menjelang malam.

Teman saya SMS lagi: Iya lo, mereka ada yang pake HP. Malah di tempatku ada yang koordinir, semacam bosnya. Nah, bosnya ini yang beliin pulsa, maybe potong setoran. Ada juga nih pengemis yang ngakalin, sebelum sampe rumah sewaan, dia sembunyiin sebagian pendapatan mereka ke lipatan-lipatan baju. Pokoke tempat tersembunyi. Aku pernah lihat.

Benar-benar memprihatinkan.
Tetapi saya kemudian teringat sosok seseorang.
Setiap tahun ia mencari orang yang betul-betul tidak mampu dan memberikan sedekah. Ia bukan orang kaya. Baru-baru ini, setelah mendapatkan rezeki ia menyiapkan 500 lembar amplop dan mengisinya, masing-masing dengan pecahan Rp. 50.000. Ia mencari sendiri orang-orang yang berhak itu, hingga ke pelosok-pelosok kota.

Dan kali ini ia memberikan kepada sejumlah orang yang tinggal di daerah Panakukang, daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di Makassar karena di daerah itu ada beberapa mal dan banyak pusat bisnis. Sosok ini menyisihkan rezekinya bahkan bukan hanya dua setengah persen, lebih dari itu. Hingga puluhan persen pun ia tak berkeberatan. Itulah salah satu cara ‘berdagang di jalan Allah’ menurutnya.

Sementara itu, kebanyakan orang menghitung pas dua setengah persen.
Atau malah lupa.

Ah, bagaimana kalau kita tak membicarakan orang lain. Bagaimana kalau kita menilik diri kita sendiri?

Makassar, 29 Februari 2012

Bisa dibaca juga:

No comments:

Post a Comment