Monday, February 27, 2012

Popok Itu Masih Awet

Tumpukan popok
Saya masih ingat sejarah dari popok berbahan kain tetra (ada juga yang menyebutnya ‘kain loyor’) berukuran lebar 90 cm dan 60 cm di rumah.

Waktu hamil Affiq, saya membaca dari Ayahbunda yang banyak terdapat di perpustakaan perusahaan (di Minas dan Rumbai) mengenai jenis popok kain dari kain tetra berbentuk bujursangkar yang dilipat sedemikian rupa sehingga bisa dipakaikan kepada bayi. Beberapa teman juga menggunakannya. Ukurannya ada dua macam yaitu 90 cm x 90 cm dan 70 cm x 70 cm.

Maka saat usia kehamilan memasuki bulan keenam, saya ditemani suami giat  berburu kain tetra di Pekanbaru (waktu itu kami masih tinggal di Rumbai – pinggiran kota Pekanbaru). Tak peduli kaki saya yang mulai membengkak, saya berjalan kaki dengannya menyusuri jalan-jalan di kota Pekanbaru. Jika tak mendapat pinjaman mobil kantor, kami naik angkot dari luar gate kompleks menuju pusat kota.

Suami sering meledek saya. Kalau di rumah biasanya saya mengeluh sakit kaki atau capek sehingga minta dipijat. Tetapi kalau berburu bahan perlengkapan bayi saya begitu bersemangat, tidak mengeluh capek atau sakit kaki. Mengeluhnya setelah semua barang terbeli dan segera ingin pulang ke rumah. Jelas saja saya bersemangat, mengumpulkan perlengkapan bayi untuk anak pertama, semua ibu pasti akan sama bersemangatnya dengan saya untuk hal tersebut J.

Ternyata tak mudah mendapatkan kain tetra berukuran besar. Yang dijual kebanyakan berukuran lebar 70 cm. Yang lebih lebar dari itu yang saya cari karena saya menginginkan kain popok berukuran 90 cm x 90 cm supaya bisa lebih lama dipakai.

Setelah beberapa kali mencari dan bertanya sana-sini, akhirnya ketemu juga penjual kain yang menjual bahan yang saya inginkan. Ada toko di sekitar pasar Pusat yang menjualnya. Sepertinya tinggal toko itu saja yang menjualnya, stoknya pun tinggal sedikit. Ukuran lebarnya 150 cm.

Sepertinya kain tetra lebar makin langka karena tak banyak lagi orang yang menggunakan popok bujursangkar ukuran 90 cm x 90 cm. Di Pekanbaru masih banyak yang menjual jenis kain berukuran 70 cm, untuk keperluan pembuatan masker. Kabut asap yang sering melanda Pekanbaru membuat masker  merupakan jenis barang yang laku di sini.

Popok kain dilipat dua kemudian dilipat dua lagi
sehingga menjadi seperti ini. Letakkan di tempat datar,
dengan bagian yang keempat ujungnya bertemu
diletakkan di sudut kanan bawah
Tahan bagian kiri atas, ambil dua ujung teratas dari lipatan itu
(di sudut kanan bawah) lalu buka sehingga menyerupai
gambar di atas. tarik satu sudutnya ke kiri.
Balik, hingga yang tadinya berada di atas menjadi di bawah.
Dan yang tadinya berada di depan menjadi di belakang.
Siap untuk melipat-lipat  sisi kanan ke arah tengah.
Setelah dilipat, seperti ini hasilnya. Bagian tengah menjadi
lebih tebal daripada kiri dan kanan. Bayi siap diletakkan di atasnya.
Seumpama ada bayi, bagian bawah popok dinaikkan ke arah
selangkangan bayi hingga menutupi kemaluannya
Selanjutnya, bagian kanan dan kiri dilipat ke arah tubuh bayi.
Kemudian bagian luarnya di peniti dengan peniti berukuran
besar yang banyak dijual di toko perlengkapan bayi.

Kami membeli stok yang tersisa.  Lalu mencari tukang jahit untuk memintanya memotong dan menecikan dengan benang warrna-warni. Jika di Makassar ongkos neci dihitung per meter, di Pekanbaru dihitung per lembar, jadinya sangat murah. Banyak yang kami peroleh, selain kain popok berukuran bujursangkar, ada pula yang berukuran persegipanjang 60 cm x 90 cm. Seminggu kemudian popok-popok Affiq sudah selesai. Tinggal dicuci dan siap menyongsong kelahiran bayi baru.

Saat usia kandungan saya 7 bulan, semua perlengkapan bayi sudah terbeli. Saat memasuki usia kehamilan 8 bulan, semua pakaian dan popok sudah tercuci dan tersimpan di lemari, siap digunakan. Tak ada yang membantu, saya melakukannya sendiri, dengan sesekali dibantu suami. Bagi sebagian orang ini hal pamali. Ibu tak saya beritahu tentang perlengkapan bayi yang sudah siap ini karena beliau pun mempercayai mitos itu. Kata beliau, “Nanti saja kalau sudah lahir baru beli.”

Kalau bayi saya sudah lahir, siapa yang mau berepot-repot ria mengubek-ubek kota Pekanbaru mencari perlengkapan bayi? Kami perantau di sini, semuanya harus dilakukan sendiri. Masak iya nanti ibu yang kami suruh mencari perlengkapan bayi yang seabreg-abreg itu ke pusat kota yang letaknya lebih dari 10 km dari kediaman kami?

Daftar perlengkapan bayi saya panjang. Saya sudah survei sebelumnya, apa saja yang dibutuhkan. Dan semuanya itu harus lengkap sebelum bayi saya lahir. Kalau bayi saya sampai lahir prematur, ia harus sudah memiliki semua perlengkapan bayi itu. Jika sudah lahir dan tidak ada yang bisa pergi membelikan, apa saya harus meminjam kepunyaan tetangga? Tidak mungkin kan?

Kalau pun Allah berkehendak lain, mengambil bayi itu sebelum lahir atau beberapa saat setelahnya misalnya. Toh semua perlengkapan bayi itu masih bisa disimpan untuk bakal adiknya? Atau bisa juga diberikan sebagai hadiah kepada teman-teman yang baru melahirkan? Simpel kan!

Maka tetaplah saya dengan pikiran saya, menyiapkan segala perlengkapan. Alhamdulillah Affiq lahir dengan selamat pada bulan Juli 2001 setelah proses induksi dan melalui masa-masa menegangkan antara dua alam (alam rahim dan alam dunia) karena ia terjebak selama sejam di jalan lahir. Bersyukur tak ada orang yang perlu kami repotkan untuk berburu perlengkapan bayi.

Popok itu masih awet, sempat dipakai oleh Athifah lalu Afyad. Sekarang dipakai untuk hal-hal lain, misalnya dijadikan alas tidur, alas bantal (bukan sarung bantal lho), bahkan saya pun menggunakannya sebagai pengering rambut setelah keramas J. Sebagian bahkan sudah diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Kainnya masih bagus, warnanya masih putih padahal usianya sudah hampir 11 tahun. Tahun lalu saya memberikan beberapa kepada seseorang, walaupun sudah dijelaskan bahwa popok-popok kain itu bekas, ia tetap mengiranya masih baru.

Makassar, 28 Februari 2012

Silakan dibaca juga:


No comments:

Post a Comment